JAKARTA – Strategi akselerasi pensiun dini diyakini sangat mungkin dilakukan untuk mencapai target penghentian seluruh PLTU batu bara pada tahun 2045.

Penghentian PLTU batu bara secara bertahap dengan bantuan internasional serta koordinasi nasional yang terencana akan mendukung pencapaian target bebas emisi Indonesia pada 2050 dan sesuai dengan peta jalan pembatasan suhu global di bawah 1,5ºC.

Analisis terbaru yang pertama kali dirilis oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability (CGS), Rabu(3/8), di University of Maryland yang didukung oleh Bloomberg Philanthropies, menunjukkan bahwa Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU batu bara pada tahun 2045 dengan dukungan internasional. Analisis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia harus menghentikan operasi 72 PLTU batu bara di Indonesia yang dimulai dengan mengurangi pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11% selama delapan tahun ke depan dan selanjutnya meningkatkan jumlah PLTU batu bara yang dipensiunkan menjadi 90% sebelum tahun 2040.

“Analisis kami menemukan bahwa melalui transisi batubara yang berkeadilan, sekarang adalah saat dimana Indonesia dapat mengambil tindakan kritis yang akan menyiapkan negara untuk mengakselerasi pensiun dini batubara dan memperkuat komitmen iklim internasional sebelum COP27,” ujar Ryna Cui, dari Center for Global Sustainability, Universitas Maryland, yang juga merupakan salah satu penulis kajian berjudul”Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero”.

“Sementara itu, kebutuhan pembiayaan untuk menerapkan penghentian PLTU batubara dengan transisi energi berkeadilan diperkirakan mencapai USD 27,5 miliar, yang membutuhkan upaya dalam negeri yang kuat dan dukungan internasional,” ujar Ryna.

Meskipun Indonesia telah berkomitmen pada tujuan ambisius untuk mencapai bebas emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat dan menghapus batubara secara bertahap pada tahun 2040-an dengan bantuan internasional, ketergantungan Indonesia pada batu bara di sistem energi dalam negeri bahkan mengekspor ke luar negeri menjadi tantangan dalam mencapai tujuan tersebut. Namun dengan penjadwalan pensiun per unit PLTU batu bara yang dirincikan dalam laporan ini, Indonesia, menuju COP27 November ini, dapat memberikan sinyal kepada dunia terhadap komitmennya dengan menetapkan target yang kuat dan layak untuk menghentikan PLTU batubara pada tahun 2045.

Kerangka kerja di laporan ini diawali dengan mengembangkan jalur untuk bebas emisi nasional pada 2050, yang dilanjutkan dengan menyusun peta jalan penghentian per unit PLTU batubara secara jelas melalui pendekatan pemodelan yang terintegrasi. Jadwal pensiun dibangun berdasarkan kinerja teknis, ekonomi, dan lingkungan masing-masing PLTU batubara.

“Kajian ini menawarkan tenggat waktu penghentian per unit PLTU batu bara secara terperinci yang layak secara finansial berdasarkan penilaian sistematis kami tentang manfaat dan biaya implementasi transisi energi batubara ke energi bersih yang berkeadilan serta cepat,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Ia menjelaskan, IESR menemukan bahwa Indonesia dapat dengan cepat berhenti menggunakan batu bara dan memenuhi tujuan pengurangan emisi domestik dan internasional, namun yang terpenting adalah kajian ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat melakukannya dengan cara yang menguntungkan kesehatan dan ekonomi masyarakat.

Mempercepat pensiun dini PLTU batu bara diprediksi akan menelan biaya lebih dari US$32 miliar hingga tahun 2050. Namun demikian, pensiun dini PLTU batu bara mempunyai manfaat positif dari terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batu bara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah US$34,8 dan US$61,3 miliar—2-4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai, penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.

“Indonesia telah secara legal mengadopsi target iklim sejalan dengan komitmen internasional. Laporan ini menyajikan peta jalan untuk membantu mengurangi lebih dari 2.600 emisi MtCO2 melalui penghentian penggunaan PLTU batubara,” ungkap Nathan Hultman, Direktur Center for Global Sustainability, Universitas Maryland.

Ia menambahka kontribusi ini akan menuai manfaat yang signifikan tidak hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga dunia. “Pendekatan yang baru dalam hal bantuan finansial internasional menjadi komponen kritikal untuk mencapai kemungkinan transisi yang lebih cepat,” ujar Nathan.

Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR yang juga merupakan salah satu penulis dari kajian, menyampaikan bahwa untuk mewujudkan pemberhentian penggunaan PLTU batu bara di tahun 2045 dan meraih manfaat ekonomi dan sosialnya, pemerintah Indonesia harus mengadopsi kebijakan yang kuat yang terbangun dari momentum politik dan sosial menuju transisi energi bersih.
“Namun, implementasi percepatan pensiun dini PLTU batu bara tidak dapat hanya dilakukan Indonesia sendiri saja. Menyambut COP27 di Mesir, di mana fokus pertemuan akan tertuju pada keuangan, adaptasi, dan kerugian dan kerusakan dampak dari krisis iklim, komunitas keuangan internasional harus melangkah untuk membantu mewujudkan tujuan-tujuan ini,” jar Raditya.

Merespon kajian ini, Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, mengatakan bahwa pensiun dini PLTU sudah menjadi perhatian pemerintah untuk menuju NZE 2060.
“Menurut hasil simulasi pemodelan pemerintah, PLTU batubara masih akan terakhir beroperasi pada 2056, sementara mendorong pensiun dini PLTU batubara di luar PLN untuk bisa pensiun di 2050. Jika ingin mempercepatnya di 2045, maka diperlukan perhitungan yang lebih mendalam lagi,” katanya.

Feby menekankan bahwa saat ini pemerintah sedang merancang peta jalan pensiun dini PLTU batubara (early retirement). Menurutnya, kajian IESR dan CGS Universitas Maryland ini dapat diselaraskan dengan kajian yang saat ini dilakukan pemerintah. Ia melanjutkan, jika ada bantuan internasional maka diharapkan penghentian penggunaan PLTU batubara dapat dipercepat.(RA)