JAKARTA – Tujuh perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) Generasi I disinyalir berada dibalik terbitnya revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Tujuh perusahaan itu adalah Tanito Harum (kontrak berakhir Januari/2019), PT Arutmin Indonesia (November/2020), Kaltim Prima Coal (Desember/2021), Multi Harapan Utama (Maret/2022), Adaro Indonesia (Oktober/2022), Kideco Jaya Agung (Maret/2022) dan Berau Coal (September/2025).

“Pemegang saham kontraktor PKP2B Generasi I tersebut adalah konglomerat-konglomerat kaya dan perusahaan asing. Para pemegang saham tersebut sebagian masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia. Sebagian dari mereka menjadi kaya dan terkaya karena menguasai kekayaan tambang batu bara milik negara yang menurut konstitusi seharusnya dikelola BUMN,” ungkap Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Kamis (21/5).

Marwan mengatakan sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta pembatalan IUPK Tanito Harum pada 2019 karena melihat secara gamblang pelanggaran Menteri ESDM Ignatius Jonan terhadap UU Minerba 4/2009. Permintaan KPK tersebut telah dipenuhi Presiden Jokowi. Dengan demikian, sudah semestinya Presiden Jokowi bersikap sama terhadap kontraktor PKP2B lain, yaitu konsisten menjalan perintah UU Minerba 4/2009 yang memang sejalan dengan amanah konstitusi. Sehingga hak perpanjangan kepada 6 kontraktor PKP2B lain tidak boleh diberikan.

“Ternyata langkah konstitusional di atas tidak dilanjutkan pemerintah. Pemerintah bersama DPR malah merevisi UU Minerba 4/2009 secara konspiratif guna memenuhi hasrat anggota oligarki. Dengan UU Minerba baru yang disahkan 12 Mei 2020, para pengusaha tambang memperoleh jaminan perpanjangan operasi tambang,” ujar Marwan.

Menurut Marwan, pemegang saham sejumlah perusahaan PKP2B di atas berasal dari China, India, Eropa dan Australia. Dengan penguasaan saham lebih dari 50%, berarti negara dan investor asinglah yang mendapat keuntungan terbesar dari revisi UU Minerba.

Total produksi ke tujuh kontraktor PKP2B diperkirakan sekitar 210 juta ton/tahun. Jika diasumsikan laba kontraktor sekitar US$10 per ton, maka keuntungan yang dapat diraih setiap tahun adalah sekitar US$ 2,1 miliar atau setara Rp 30 triliun.

“Dengan keuntungan yang demikian besar, jelas mereka dan dapat berbuat banyak untuk memperoleh perpanjangan kontrak. Padahal, UU Minerba 4/2009 dan konstitusi telah mengatur bahwa aset milik negara, milik rakyat tersebut harus dikelola BUMN bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tandas Marwan.(RA)

Berikut Pemegang Saham 7 PKP2B Generasi I:

1. pemegang 100% saham Tanito Harum (luas lahan tambang versi Ditjen Minerba sekitar 1.869 hektar. Versi lain: 36.000 hektar) adalah Kiki Barki dan Anita Barki. Kontrak PKP2B Tanito harum berkahir 14 Januari 2019 dan telah diperpanjang dalam bentuk izin selama 20 tahun dari Kementrian ESDM pada Januari 2019.

2. Pemegang saham Arutmin Indonesia (57.107 hektar) diperoleh dari publikasi Laporan Tahunan Bumi Resources 2018 dan presentasi Ditjen Minerba Februari 2020. Saham Arutmin 70% dikuasai Bumi Resources dan 30% dipegang Bhira Investment Limited, India. Sedangkan pemegang saham Bumi Resources antara lain adalah: HSBC, Inggris (22,67%), The NT TST Co. S/A Pathfinder Stratgic Credit LP (3,98%), Damar Reka Energi (3,5%), UBS AG, Swiss (2,65%), Credit Suisse, Swiss (2,49%), Credit Suisse Singapore (2,31%), Raiffeisen Bank Singapore (1,93%), Citibank London (1,23%), Credit Suisse USA (1,23%), dll, serta Pemegang Saham Publik (64,7%).

3. Sumber informasi pemegang saham Kaltim Prima Coal (84.938 hektar) sama seperti Arutmin Indonesia, berasal dari Laporan Tahunan Bumi Resources dan Ditjen Minerba. Saham Kaltim Prima Coal 51% dipegang Bumi Resources, 30% Bhira Investment Limited, India dan sisanya 19% dipegang China Investment Corporation (CIC). Sedangkan pemegang saham Bumi Resources sendiri adalah seperti disebutkan pada butir kedua di atas.

3. Pemegang saham Multi Harapan Utama (MHU), lahan 39.972 hektar, Pakarti Putra Sang Fajar (60 %) Private Resources Ltd, Australia (40%). Sedangkan saham Pakarti dimiliki dua perusahaan lain, Bhaskara Alam dan Riznor Rezwara. MHU dihubungkan satu nama yaitu Reza Pribadi, di mana Reza tercatat sebagai komisaris di MHU dan di Pakarti. Di Riznor, Reza tertulis pemilik saham bersama Rizal Risjad. Pada MHU Reza menjabat direktur.
Posisi serupa sebagai direktur/komisaris juga dijabat Reza di Private Resources Pty Ltd, perusahaan yang berkantor di Perth, Australia. Reza adalah putra pengusaha Henry Pribadi (Liem Oen Hauw), pemilik konglomerasi Napan Group.

5. Pemegang saham Adaro Indonesia (31.380 hektar) adalah Adaro Strategic Investments (43,91%), Garibaldi Thohir (6,18%), Edwin Soeryadjaya (3,29%), Theodore P Rachmat (2,54%), Arini Saraswaty Subianto (0,25%) dan Publik (43,69%). Adaro Strategic Investment sendiri dimiliki 5 orang pengusaha yaitu Theodore P Rachmat (melalui Triputra Investindo Arya), Benny Subianto (Persada Capital Investama), Garibaldi Thohir (Trinugraha Thohir), serta Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno (Saratoga Capital).

6. Pemegang saham Kideco Jaya Agung (47.500 hektar) adalah Indika Energy (91%) dan Samtan Limited, Korea Selatan (9%). Indika Energy sendiri dimiliki oleh Arsjad Rasjid, Wishnu Wardhana, dan Agus Lasmono. Pemegang saham Indika Energy terdiri atas Indika Inti Investindo (37,79%), Teladan Resources (30,65%), dan Publik (31,56%). Pemilik mayoritas Indika Inti Investindo sebagai salah satu pemegang saham pengendali Indika Energy adalah Agus Lasmono yang merupakan pendiri Indika Group.

7. Peemegang saham atau pemilik Berau Coal (luas lahan 108.009 hektar!) adalah Grup Sinar Mas melalui Asia Coal Energy Ventures Limited (ACE). ACE menyatakan telah menjadi pengendali di Berau Coal secara tidak langsung karena memiliki 94,19% saham di Asia Resources Minerals Plc (ARM) yang semula menjadi pemilik Berau. ACE yang disokong dana oleh Grup Sinarmas itu menguasai 84,7% saham di Berau Coal melalui Vallar Investment UK Limited. ACE yang merupakan perusahaan terikat hukum Pulau Virgin, menyelesaikan akuisisi ARM pada 15 Juli 2015. Berau Coal yang sebelumnya perusahaan terbuka, pada 16 November 2017 resmi keluar dari Bursa Efek Indonesia (BEI).