JAKARTA – Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, menyatakan telah resmi menghentikan kerja sama pengembangan green refinery dengan ENI, perusahaan migas dan energi asal Italia. Kebijakan Uni Eropa tentang Crude Palm Oil (CPO) Indonesia menjadi salah satu faktor kerja sama ini akhirnya harus berakhir.

Nicke Widyawati Direktur Utama Pertamina mengungkapkan bahwa pihak ENI beberapa kali mendapatkan teguran dari pemerintah Italia karena melakukan kerja sama dengan Pertamina yang melibatkan pengguna CPO Indonesia. Semula percobaan penggunaan CPO menjadi green diesel dilakukan di kilang milik ENI di Italia. Hanya saja aksi itu ditentang langsung oleh pemerintah Italia. Kemudian CPO Indonesia harus mendapatkan sertifikasi khusus agar bisa masuk ke Eropa.

Salah satu sertifikat penting yang biasanya harus dimiliki badan usaha yang penggunaan kelapa sawit untuk green refinery adalah CPO yang digunakan harus memperoleh International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).

“Awalnya kerja sama dengan ENI untuk mitigasi teknis. Tapi ada penolakan CPO di Eropa karena harus terapkan sertifikasi internasional ENI jadi maju mundur. Jadi, nggak jadi co-processing di fasilitas ENI di Milan,” kata Nicke disela rapat dengar pendapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Rabu (29/1).

Teguran dari pemerintah Italia kemudian direspons dengan mengubah rencana lokasi pengujian. Menurut Nicke, ENI akhirnya sepakat untuk langsung dilakukan pembangunan fasilitas pengolahan CPO menjadi green diesel di wilayah kilang Plaju di Sumatera Selatan.

“Jadi langsung bangun di Plaju. Tapi ENI dapat teguran dari pemerintahnya (Italia), walaupun investasi di indonesia tapi tetap dilawan juga. Padahal logikanya kebun di indonesia jadi aspek lingkungan kita yang kena, diproses dan digunakan di indonesia, tapi ENI tetapkan itu jadi putus dengan ENI,” jelas Nicke.

Sebagai gantinya Pertamina langsung bekerja sama dengan UOP perusahaan asal Amerika Serikat yang telah memiliki sertifikasi teknologi untuk produksi green diesel berbahan baku CPO.

“Kami bangun sendiri dan kerja sama langsung dengan UOP. Dan ENI kemarin kena penalti karena masih pakai CPO Indonesia,” ujar Nicke.

Green Refinery yang rencananya dibangun nanti akan memiliki kapasitas produksi mencapai 1 juta Kiloliter (KL) per tahun. Dengan kapasitas pengolahan CPO mencapai 20 ribu barel per hari. “Kapasitas olah CPO 20 ribu barel per hari (bph) tapi nanti ditambahkan aja kalau mau jadi 80 ribu bph. 20 ribu jadi 1 juta KL (green diesel) per tahun di 2024 beroperasi,” kata Nicke.

Pertamina sebelumnya telah menandatangani Head of Joint Venture Agreement untuk pengembangan green refinery di Indonesia serta Term Sheet CPO processing di Italia pada Januari 2019 lalu. Kesepakatan ini merupakan lanjutan dari nota kesepahaman kerjasama yang telah ditandatangani Pertamina dengan ENI pada September 2018 serta penandatangan kesepakatan lanjutan pada Desember 2018.

CPO Processing Agreement mengawali upaya Pertamina untuk melakukan pemrosesan CPO di kilang Eni di Italia yang sudah berpengalaman sejak 2014 untuk menghasilkan HVO (Hydrotreated Vegetable Oil) yang bisa digunakan sebagai campuran bahan bakar mesin diesel.

Dalam kerja sama tersebut ENI akan memasok green diesel ke Pertamina sambil menunggu penyelesaian pengembangan green refinery. Sementara CPO nya dipasok dari Indonesia. (RI)