JAKARTA – PT Pertamina EP akan mengimplementasikan secara penuh (full scale) metode Enhanced Oil Recovery (EOR) polymer di Lapangan Tanjung, Kalimantan Selatan pada kuartal IV 2021. Hal ini dilakukan seiring berjalan lancarnya pilot project yang dilakukan sejak Desember 2018.

“Potensi paling besar di Tanjung, kalau rata-rata cadangan sekitar 300 juta – 700 juta MMSTB. Jadi Tanjung itu paling tinggi (potensinya),” ujar Andy W Bachtiar, Vice President EOR Pertamina EP dalam media gathering “Strategi dan Inovasi Pertamina EP Mendongkrak Produksi Migas” yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) bekerja sama dengan Dunia-Energi.Com dan PT Pertamina EP di Jakarta, Selasa (12/3).

Andi mengungkapkan jika tidak ada halangan berarti dan semua langkah pilot project berjalan lancar maka Pertamina EP akan menjadi kontraktor pertama di Indonesia yang menerapkan EOR secara penuh (full scale).

Pilot project di Lapangan Tanjung sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu dengan total kebutuhan dana hanya mencapai US$ 4 juta. Ini berbeda jauh dengan pilot project yang pernah juga dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia di Lapangan Minas, PT Medco Energi Rimau di Lapangan Kaji-Semga serta CNOOC di Widuri yang biayanya bahkan diatas US$ 100 juta.

“Punya kami yang pilot di Tanjung itu US$ 4 juta untuk set up semua, lebih murah dari pemboran. Kalau dibandingkan dengan pilot lain, Medco US$ 65 juta, Chevron US$ 165 juta,” kata Andi.

Untuk menerapkan injeksi polymer dengan kapasitas maksimal maka total dana yang dibutuhkan diproyeksikan bisa mencapai US$ 120 juta.

Jika tidak ada halangan, proyek EOR di Tanjung bisa menjadi contoh implementasi yang sukses dilakukan pertama kalinya di Indonesia dengan target internal rate of return sebesar 13% atau masih sesuai dengan batasan yang ditetapkan PT Pertamina (Persero) sebagai induk usaha.

Proyek EOR menjadi salah satu proyek yang bernilai ekonomi tinggi lantaran biaya capex yang hanya meliputi Capital Expenditure (Capex) pemboran, workover, pembangunan fasilitas permukaan (fasilitas produksi dan injeksi, water treatment, dan pembangkit listrik). Sementara untuk operation expenditure (Opex) hanya dihabiskan untuk pengadaan bahan kimia.

Menurut Andi, injeksi polymer di Tanjung juga tergolong masih murah karena per barelnya hanya butuh sekitar US$ 5 jadi, sehingga jika biaya produksi sekarang sekitar US$ 25  per barel maka tambahan biaya produksi menjadi US$ 30 per barel.

“Dengan perkiraan peak produksi pada 2034 sebesar 25 ribu barel per hari (bph), proyek ini masih ekonomis untuk diimplementasikan,” tandas Andi.

Pertamina EP selama ini mengelola lapangan-lapangan yang berumur tua dan ternyata menyimpan potensi cadangan migas cukup besar.

Sedikitnya ada sembilan lapangan yang menjadi prioritas tinggi untuk dikembangkan Pertamina EP ke depannya dengan menggunakan metode EOR. Dua pendekatan yang kini sedang dilakukan adalah dengan menggunakan kimia untuk lima lapangan, yakni Rantau, Sago, Jirak, Limau serta lapangan Tanjung.

Empat lapangan lainnya akan dikembangkan dengan metode EOR menggunakan CO2 diantaranya di Ramba, Tambun, Jatibarang serta Sukowati.

John H Simamora, Direktur Pengembanga Pertamina EP, mengatakan jumlah potensi cadangan dari kesembilan struktur bervariasi antara 300 juta hingga 700 juta barel MMSTB untuk setiap lapangan. “Itu cadangannya besar-besar,” kata John.

Dalam road map perusahaan kesembilan lapangan tersebut akan dikembangkan secara bertahap mulai dari 2020 hingga 2030.(RI)