JAKARTA- Daya tarik industri hulu migas Indonesia saat ini masih tertinggal dibandingkan negara lainnya kendati sejumlah upaya perbaikan sudah dilakukan. Tanpa insentif dan kebijakan yang tepat, produksi minyak nasional akan terus menurun.

Salah satu upaya penting untuk kembali menggairahkan industri hulu migas demi pencapaian target produksi 1 juta barel minyak per hari (bph) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (bscfd) pada 2030 adalah dengan meningkatkan daya arik fiskal atau fiscal attractiveness Indonesia.

Andrew Harwood, Direktur Penelitian Asia Pasifik Wood Mackenzie, mengatakan, perlu upaya lebih agar Indonesia dapat lebih kompetitif. Pemerintah Indonesia dinilai telah memberikan sejumlah terobosan seperti fleksibilitas skema kontrak.

“Pemberian insentif diharapkan tidak berhenti sampai di situ karena negara-negara lain terus melakukan pengembangan untuk memperbaiki iklim investasi,” kata Andrew saat berbicara pada diskusi kelompok terarah Strategic Collaborative Synergy and Effective Fiscal Terms secara daring di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Andrew, nilai fiscal attractiveness Indonesia berada jauh di bawah Malaysia, tapi masih di atas Irak dan Brasil. Hanya saja, Irak dan Brasil lebih menarik bagi investor dibanding Indonesia. Akumulasi prospek migas sebagai salah satu faktor yang turut mempengaruhi ketertarikan investor, selain fiscal term yang berlaku.

“Pada 2010 Brasil menjadi tempat investasi favorit dan ini menarik bagi investor berskala besar. Begitu pula dengan Irak. Meski kebijakan fiskal yang berlaku tidak begitu baik, prospek migas di Irak terbilang bagus,” katanya.

Pola pikir investor saat ini tidak hanya fokus pada upaya peningkatan produksi migas. Tren tersebut perlahan berubah karena perusahaan migas mulai melihat segi pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi migas. Melihat kondisi tersebut, Andrew menilai, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah aspek lain, seperti split migas, daya tarik subsurface, serta penyediaan bagi hasil yang menarik untuk investor.

“Investor berpandangan, kerugian di suatu blok bisa diimbangi dengan produksi dari blok lain. Hal ini yang tidak ada di Indonesia sehingga perusahaan sulit membuat basis di Indonesia,” katanya.

Andrew juga menyebutkan, pemerintah harus memperhatikan regulasi lain, terutama terkait persoalan perizinan yang selama ini dianggap menjadi hambatan karena berbelit-belit. Ke depan, pemerintah diharapkan akan bisa memangkas kembali waktu perizinan di sektor hulu migas.

Ambisi pemerintah untuk mewujudkan target produksi minyak 1 juta bopd dan gas 12 bscfd pada 2030 dinilai sebagai kondisi yang tergolong menarik. Andrew berpendapat, program tersebut kemungkinan menarik kehadiran banyak investor di Indonesia meski dengan nilai investasi yang masih tergolong kecil.

Dengan adanya dukungan fiskal, Indonesia akan menciptakan iklim investasi yang lebih menarik di industri hulu migas dan lebih atraktif dibanding negara lain. “Pemerintah dan regulator harus aktif untuk menciptakan keseimbangan antara risiko yang dihadapi investor dalam melakukan kegiatan usaha hulu migas dengan benefit yang akan mereka terima,” katanya.

Ronald Gunawan, Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA), mengungkapkan pemerintah perlu memberikan sinyal positif kepada para investor terutama dalam hal menjaga kesucian kontrak (contract sanctity). Upaya yang dapat dilakukan berupa merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang kontradiktif dengan kontrak-kontrak Production Sharing Contract (PSC). Selain itu, perlu ada reformasi regulasi yang bertujuan untuk meningkatkan competitiveness, seperti yang terjadi di Laut Utara, Australia, dan Mesir.

“Untuk Indonesia, prospektivitas, kemudahan dalam berbisnis (ease of doing business), dan fiscal attractiveness merupakan poin-poin kritikal yang diambil investor ketika memutuskan untuk menanamkan investasinya,” katanya. (DR)