JAKARTA – Pemerintah kaji untuk menambah insentif dalam pengembangan panas bumi.  Kali ini insentif yang diberikan dalam bentuk reimburse atau penggantian biaya infrastruktur pendukung Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP)

F.X Sutijastoto, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan opsi reimburse mengikuti konsep yang dijalankan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Itulah yang menjadi salah satu penyebab harga listrik dari PLTU bisa lebih murah karena infrastruktur pendukung tidak ditanggung pengusaha.

“Kami melihat, seperti infrastruktur mestinya. Bisa tidak direimburse pemerintah. PLTU-kan yang tanggung biaya masyarakat, kalau panas bumi ada biaya lingkungan Hidup, bisa tidak direimburse pemerintah. Di New Zealand panas bumi lebih murah dari batu bara karena batu bara ada carbon tax disamping energinya efisien,” kata Sutijastoto di Jakarta, Selasa (13/8).

Kapasitas terpasang pembangkit panas bumi jika sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) harus bisa mencapai 7.200 megawatt (MW) pada 2025. Saat ini realisasinya baru 1.948,5 MW.

Dana besar dipastikan akan dibutuhkan dalam pengambangan panas bumi. Berdasarkan perhitungan pemerintah kebutuhan dana untuk bisa mengejar target RUEN mencapai US$15,7 miliar. Angka tersebut didapatkan dengan basis perhitungan biaya PLTP untuk setiap 1 MW sebesar US$3 juta. Sementara kekurangan kapasitas sebesar 5.251,5 MW.

“Panas bumi itu investasinya sekitar US$3 juta per 1 MW, RUEN 7.200 MW dikalikan saja. Rata-ratalah ada yang murah, kita ambil rata-rata US$3 juta, tergantung juga daerahnya. Kalau daerahnya kayak Lumut Balai itu ya bisa mahal juga,” ungkap Sutijastoto.

Berdasarkan kajian Asosiasi Panas Bumi (API) hingga 10 tahun ke depan dibutuhkan investasi di sektor panas bumi mencapai US$36,24..

Prijandaru Effendi, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi (API), mengatakan kebutuhan investasi panas bumi bisa lebih mahal antara US$5 juta – US$ 6 juta per MW.

“Untuk 1 MW kurang lebih US$5 juta, kami mengejar sampai sana, mengejar 2030,” kata Prijandaru.

Tantangan besar dipastikan akan dihadapi, lantaran pemerintah mengakui pengembangan panas bumi sampai sekarang masih terasa lambat.

Prijandaru menuturkan salah satu masalah utama dalam pengembangan panas bumi masih diseputar harga jual listrik dari produsen kepada PT PLN (Persero) sebagai off taker utama listrik panas bumi.

“Harga keekonomian dengan kemanpuan PLN tidak match. Itu yang Pak Toto jelaskan panjang lebar. Itu salah satu itikad pemerintah untuk menjembatani perbedaan itu,” kata dia.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai panas bumi bukanlah barang baru akan tetapi tidak ada kejelasan pengembangan sampai sekarang. Bahkan setelah 30 tahun lebih sejak pertama kali panas bumi dikembangkan di Kamojang, realisasi kapasitas terpasang sekarang baru hampir 2.000 MW.

“Kelambatan ini harus sama-sama diperbaiki, Menteri ESDM, PLN asosiasi harus duduk untuk percepat ini,” kata Kalla.(RI)