JAKARTA – Skema feed in tariff berpotensi menjadi kendala dalam pengembangan energi baru terbarukan. Padahal kebijakan tarif ini merupakan insentif pemerintah yang bisa mempercepat pembangunan EBT.

Halim Kalla, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang EBT, mengatakan penentuan feed in tariff sangat vital  karena menjadi salah satu penentu pengembangan EBT. “Karena harga EBT tidak bisa sama dengan pembangkit gas atau batu bara, harus lebih tinggi” kata Halim.

Investor pembangkit tenaga surya merupakan salah satu yang hingga saat ini menantikan skema feed in tariff. Dengan harga yang sesuai dengan keekonomian bisa mengundang investor untuk berinvestasi.

Halim mendesak pemerintah bisa segera menyelesaikan kesepakatan feed in tariff agar berbagai proyek yang mandek bisa segera dilanjutkan. “Saya harap FIT ini bisa cepat selesai dan hasilnya bagus,” tukasnya

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya mengatakan Kementerian ESDM mengejar penetapan feed in tariff untuk solar cell pada April 2016.

“Sedang kita kejar, mudah-mudahan sudah bisa terbit permennya bulan April ini,” kata Rida.

Harus Dimaksimalkan

Halim mengatakan selain memiliki sumber daya yang melimpah, Indonesia juga sudah menguasai teknologi EBT yang bisa diandalkan. Meskipun masih menggunakan produk luar negeri, seperti Jepang, China dan Jerman, teknologi lokal tetap tidak bisa ditinggalkan. Pasalnya agar bisa berjalan normal, tekonologi yang ada juga butuh karakteristik lokal.

“Kami pernah survei ke Thailand dan Vietnam, disana full dari luar, tapi malah tidak berjalan, justru ada teknologi lokal baru berjalan. Jadi tidak selalu beli teknologi dari luar. harus dikembangkan teknologi dalam negeri meskipun inti-intinya tetap dari luar,” ungkapnya.

Menurut Halim, mempunyai 2,5 juta hektar perkebunan kelapa sawit dan penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar nomor tiga di dunia.  Kondisi tersebut juga menjadi peluang besar bagi pengembangan EBT, terutama untuk pembangkit listrik.

“Segala limbah sekarang bisa dijadikan listrik. ini peluang besar karena sekarang ada 2,5 juta hektar lahan sawit di Indonesia yang limbahnya bisa dimanfaatkan,” tandas Halim.(RI)