JAKARTA – Investor Jepang yakni Japan Bank for International Cooperation (JBIC) berminat untuk berinvestasi dalam program hilirisasi tambang di Indonesia. Hal itu disampaikan delegasi JBIC saat menyambangi kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Dalam pertemuan yang digelar sejak sore hingga malam itu dilakukan pertemuan dengan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi; Sri Mulyani, Menteri Keuangan; dan Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sri Mulyani mengatakan ada beberapa potensi kerja sama dengan JBIC. Pihak JBIC bermitra untuk turut serta pendanaan berbagai proyek infrastruktur, salah satunya adalah proyek hilirisasi dari proyek mining.

Hilirisasi yang dilirik adalah untuk hilirisasi nikel yang berpotensi besar menjadi andalan di masa depan untuk kebutuhan kendaraan listrik.

“Mereka juga support Indonesia yang melakukan hilirisasi dari proyek-proyek mining di Indonesia, terutama yang memiliki potensi menjadi produsen battery electric di Indonesia seperti yang mereka lakukan investasi di berbagai negara, yakni di Filipina maupun di Jepang sendiri,” kata Sri Mulyani di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Senin (2/12).

Luhut mengatakan minat investasi JBIC sangat tinggi. Apalagi setelah melihat keseriusan pemerintah Indonesia dengan program hilirisasinya. “Presiden sedang melakukan transformasi ekonomi dari commodity based jadi value added based. Dia (JBIC) sangat tertarik dengan itu dan mengatakan ini langkah yang hebat,” ujarnya.

Selain hilirisasi sektor tambang, JBIC juga tertarik untuk ikut danai proyek pembangunan pembangkit listrik yang berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). “Termasuk green-green energy, mau gunakan hydropower kita yang di Kalimantan dan Papua. Itu akan buat satu perubahan baru. Karena dunia mengarah ke green,” ujarnya.

Meski tidak bisa memastikan jumlah investasinya nanti namun JBIC menyanggupi untuk gelontorkan investasi puluhan miliar. “Angkanya menurut saya akan sangat besar. Saya belum bisa ngomong biar mereka bilang besok. Kalau sudah di sovereign wealth fund (SWF), kalau bisa US$ 10- US$ 20 Miliaran bisa dikali tiga,” kata Luhut.

Presiden Joko Widodo juga sebelumnya sudah menyatakan bahwa hilirisasi nikel merupakan harga mati. Ini ditunjukkan dengan aturan yang menetapkan pelarangan ekspor nikel mulai 1 Januari 2020 mendatang.

Jokowi mengatakan defisit transaksi berjalan tidak pernah bisa diselesaikan selama puluhan tahun. Ekspor Indoneisa bergantung pada komoditas mentah. Kemudian impor yang besar atas energi, terutama minyak dan gas, barang-barang modal dan bahan baku.

“Karena itu, ke depan, kita memiliki agenda besar yaitu meningkatkan ekspor dan produk substitusi impor,” kata Jokowi.

Menurut Presiden, hilirisasi wajib dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Dia menilai industrialisasi dari sumber daya alam jadi agenda utama pemerintah ke depan agar tidak ada lagi impor bahan mentah dan ekspor material bahan baku.

Indonesia, kata Presiden, memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Nomor satu di dunia. Jadi, kita hentikan ekspor nikel, selain yang sudah berupa barang-barang setengah jadi atau bahan jadi, yang memiliki nilai tambah yang besar. “Bahkan dua atau tiga tahun lagi, turunan dari nikel ini bisa berupa lithium baterai,” kata Jokowi.(RI)