JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengeluhkan masih belum berjalannya aturan pemerintah tentang Harga Patokan Mineral (HPM) yang masih belum berjalan optimal. Kondisi tersebut turut mempengaruhi pertumbuhan industri turunan nikel tanah air. Meidy Katrij Lengkey, Sekretaris Jenderal APNI, mengatakan dalam mendukung industri hilir nikel, diperlukan ekosistem yang terarah dari hulu ke hilir, terutama dalam rantai pasok bahan baku dan tata kelola niaga transaksi bijih nikel harus sesuai dengan aturan atau regulasi yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020.

“Saat ini masih banyak transaksi bijih nikel yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, pada tanggal 13 Agustus 2020 dikeluarkan Kepmenko 108/2020, tentang Tim Satgas HPM,” kata Meidy, Selasa (29/6).

Padahal menurut dia sudah ada beberapa tindakan pemerintah seperti telah dikeluarkannya Surat Peringatan: Surat Ketua Pelaksana Tim Kerja Pengawasan Pelaksanaan Harga Patokan Mineral Nikel No.102/Deputi 6/Marves/VIII/2020 tanggal 31 Agustus 2020 hal Peringatan Tertulis

Lalu ada Maklumat Penegakan Hukum HPM: Surat Ketua Pelaksana Tim Kerja Pengawasan Pelaksanaan Harga Patokan Mineral Nikel No.116/Deputi 6/Marves/IX/2020 tanggal 28 September 2020 hal Maklumat Penegakan Hukum Atas Permen ESDM No.11/2020. “Serta pengusulan sanksi pembekuan tax holiday dalam revisi PMK No.130/2020. Industri hilir nikel harus dijaga perkembangannya. Jangan sampai cadangan nikel yang berlimpah malah tidak bisa dimonetisasi di dalam negeri,” ungkap Meidy.

Meidy menyebutkan ada beberapa masukan APNI kepada pemerintah dalam mendukung industri hilir nikel untuk mendorong industri stainless steel dan batterai dalam negeri Dengan semakin bertambahnya perusahaan smelter dan HPAL yang beroperasi, maka untuk menjaga ketersediaan cadangan dan optimalisasi bijih nikel kadar rendah, diperlukan pembatasan kadar bijih nikel yang diizinkan untuk diperjual-belikan.

Kedua adalah pemerintah harus mendorong dilakukannya kegiatan eksplorasi detail untuk seluruh wilayah pertambangan, sehingga di dapatkan data sumber daya dan cadangan nikel dan mineral pendukung lainnya yang akurat untuk menunjang kebutuhan bahan baku smelter dan HPAL yang semakin banyak berdiri di Indonesia.

“Lalu harga bijih nikel yang diterapkan sesuai dengan HPM yang tertuang dalam Permen 11/2020, melalui Kepmen yang diterbitkan setiap bulan oleh Menteri ESDM dan dioptimalkan kerja-kerja Satgas HPM dalam pengawasan transaksi bijih nikel di lapangan,” kata Meidy.

Selanjutnya untuk menghindari monopoli, disarankan kepada smelter untuk menggunakan surveyor independent terdaftar secara merata kepada seluruh surveyor terdaftar, agar hasil analisa lebih cepat dapat diperoleh.

Kebutuhan akan bijih nikel untuk HPAL dengan syarat spesifikasi yang ditentukan oleh pabrik, di khawatirkan tidak akan terakomodir maksimal oleh penambang, dikarenakan syarat MGO. Kondisi yang sama saat ini untuk kebutuhan pyrometallurgy kebutuhan akan saprolite bijih nikel kadar yang tinggi yaitu diatas 1.l,8% dengan syarat SiO/MgO maksimum 2,5.

“Optimalisasi pabrik hilir nikel dengan pembatasan investasi baru, dan mendukung investasi yang sudah berjalan di Indonesia. Serta mengangkat Indonesia dalam kancah industri logam dunia, dengan memacu pabrik dalam negeri untuk industri produk akhir,” kata Meidy.(RI)