Firlie Benakat

Firlie Hanggodo Ganinduto.

JAKARTA – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendesak, masalah perizinan dan kepastian hukum menjadi pembahasan utama revisi Undang-Undang 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Sampai saat ini, upaya peningkatan produksi migas nasional masih kerap terkendala lambatnya perizinan, akibat lemahnya kepastian hukum baik di pusat maupun di daerah.

Desakan ini disampaikan Ketua Komite Tetap Bidang Hulu Migas Kadin, Firlie Hanggodo Ganinduto di Jakarta, Rabu, 15 Agustus 2012. Sejauh ini, kegiatan pemboran guna peningkatan produksi migas kerap tersendat-sendat, akibat berlarut-larutnya proses perizinan terutama yang menyangkut penggunaan kawasan hutan.

Selain target peningkatan produksi harus tertunda, berlarutnya perizinan juga membuat biaya operasi migas semakin tinggi. Padahal biaya tersebut nantinya diklaimkan sebagai cost recovery (biaya operasi yang dapat diganti oleh pemerintah). Sehingga tentunya juga membebani keuangan negara.

Mestinya, kata Firlie, perizinan dalam pelaksanaan operasi migas cukup melalui satu pintu, sehingga tidak memberatkan investor migas dan dapat memberikan kepastian hukum. Seperti halnya saat kuasa pertambangan migas masih dipegang Pertamina-BPPKA (Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing).

Saat itu, seluruh perizinan diurus BPPKA dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKS) Migas bisa langsung bekerja, tanpa terbebani mengurus berbagai perizinan ke banyak instansi yang berbelit. Namun sejak lahirnya UU Migas 22/2001, kewenangan itu dialihkan ke Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) dan operasi migas kerap terkendala lambatnya perizinan lintas sektoral.

Ia mencontohkan persoalan yang dihadapi PT Benakat Petroleum Energy Tbk, yang harus menunda sejumlah rencana pemboran, akibat belum mendapatkan izin dari kehutanan. Perizinannya harus diurus bertingkat mulai dari kabupaten, provinsi, hingga ke pusat. Akibatnya pemboran untuk peningkatan produksi tersendat-sendat dan tidak dapat mencapai kinerja maksimal.

“Menteri Kehutanan memang sudah menyatakan, lahan hutan terbuka untuk aktivitas hulu migas karena tidak banyak merusak lingkungan. Namun hambatan terjadi pada jajaran yang ada di bawahnya,” ungkap Firlie.

Akibat terhambat di perizinan, Benakat hingga saat ini belum berhasil menaikkan produksi pada dua lapangan minyaknya. Pertama pada lapangan Benakat Barat Sumatera Selatan, yang dioperasikan anak usahanya Benakat Oil bersama Pertamina EP.

Pada lapangan itu, Benakat ingin mengebor 20 sumur baru. Namun karena belum terbitnya izin penggunaan kawasan hutan, emiten migas yang listing di Bursa Efek Indonesia dengan kode BIPI ini hanya menargetkan membor enam sumur baru.

Kedua, di lapangan Patina Bangkudulis, Kalimantan Timur, yang dikelola anak usaha Benakat, PT Benakat Patina Energi. Saat ini produksi dari lapangan ini berkisar 110 bph-120 bph. Karena belum keluarnya izin pemanfaatan hutan, Benakat terpaksa merevisi target penambahan sumur minyak baru di lapangan ini.

Keluhan yang sama juga pernah diungkapkan PT Chevron Pacific Indonesia. Produsen minyak terbesar di Indonesia ini mengaku tidak bisa mencapai target pemboran untuk peningkatan produksi, karena terhambat izin kegiatan di kawasan hutan lindung.

Padahal sejak 2010, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sudah menyampaikan, tidak ada persoalan kegiatan migas dan panas bumi di hutan lindung, karena wilayah yang dibuka sangat sedikit. Terlebih Indonesia saat ini sangat butuh energi. Namun visi ini nampaknya belum menetes ke jajaran dibawahnya.