JAKARTA – Pemerintah telah menambah kuota LPG subsidi 3 kilogram menjadi 6,9 juta metrik ton (MT) pada 2019 yang ditetapkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Penambahan kuota otomatis memberikan beban kepada keuangan negara, apalagi sebagian besar LPG berasal impor.

Kondisi ini dinilai disebabkan besarnya kepentingan politik, sehingga upaya mengendalikan konsumsi LPG bersubsidi selalu mentah atau tidak kunjung tuntas dijalankan.

“Saya kira pemerintah serius untuk merealisasikan, namun belum optimal karena sering tersandera berbagai kepentingan. Salah satunya kepentingan politik praktis, 2018 dan 2019 kan tahun politik,” kata Ali Ahmudi, pengamat energi dari Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS) kepada Dunia Energi, Senin (24/9).

Konsumsi LPG 3 kg dari tahun ke tahun makin meningkat. Selain kebutuhan masyarakat yang meningkat, disparitas harga dengan nonsubsidi ikut mendorong peningkatan konsumsi LPG 3 kg.

Dia mengatakan subsidi tetap harus ada, namun proporsinya terjaga, penyalurannya tepat sasaran dan peruntukannya sedapat mungkin bukan diberikan kepada barang konsumsi publik yang rawan penyimpangan. Jika subsidi terhadap barang terpaksa terjadi, maka harus diperhatikan.

Disparitas harga tidak boleh terlalu jauh terutama untuk barang dengan kualitas dan kuantitas yang setara. Lalu sistem penyaluran berbasis teknologi yang memungkinkan bisa terpantau secara rinci, rapi, akurat dan real-time.

“Ada regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas. Proses sosialisasi yang memadai,” tukas Ali.

Gagasan lama dengan perbaikan sistem dan proses seperti penyaluran tertutup dengan barcode atau model BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada para penerima yang sah dan berhak masih menjadi opsi untuk bisa mengendalikan subsidi LPG.

Subsidi energi dalam RAPBN 2019 menjadi sebesar Rp157,79 triliun. Jumlah tersebut meningkat Rp1,25 triliun dari usulan pemerintah sebelumnya yang sebesar Rp156,5 triliun.

Subsidi energi tersebut terdiri atas subsidi bahan bakar minyak dan LPG tabung 3 kilogram sebesar Rp100,68 triliun. Untuk BBM sebesar Rp33,3 triliun, LPG tabung 3 kilogram sebesar Rp72,32 triliun, serta mencakup carry over atau pembayaran kurang bayar ke PT Pertamina (Persero) sebesar Rp 5 triliun.

Berdasarkan data Pertamina, pada 2015 total penyaluran LPG subsidi mencapai 5,57 juta MT. Pada 2016, konsumsi menjadi 6,04 juta MT. Serta tahun lalu, realisasi penyaluran LPG bersubsidi mencapai 6,29 juta MT.

Pada 2019, kuota LPG 3 kg pada nota keuangan 2019 membengkak menjadi sebesar 6,98 juta MT atau naik sekitar 5,4% dari proyeksi realisasi tahun ini yang diproyeksikan sebesar 6,4 juta MT.

Distribusi Tertutup

Salah satu cara yang sebenarnya sudah dikaji oleh pemerintah, namun tidak juga diterapkan adalah pola pendistribusian LPG subsidi secara tertutup.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat dikonfirmasi, mengatakan kelanjutan dari kebijakan tersebut tidak bisa memberikan kepastian lantaran Kementerian Sosial yang seharusnya menjadi penanggung jawab program tersebut.

“Saya belum tahu, distribusi tertutup itu kalau tidak salah ada di Kementerian Sosial,” kata Arcandra.

Dia menambahkan, tugas Kementerian ESDM adalah sebatas penyediaan kuota serta data apabila diminta Kementerian Sosial. “Kami bantu data kalau yang ditanyakan tentang distribusi tertutup. Untuk kuota, itu kami,” kata Arcandra.

Menurut Ali, subsidi tertutup jelas masih relevan untuk diterapkan tentu dengan catatan data penerima valid dan terverifikasi. Teknis penyaluran berbasis teknologi. “Regulasi jelas dan penegakan hukum tegas bagi pelanggar,” tandasnya.(RI)