JAKARTA – Indonesia dinilai telah tertinggal jauh dari negara-negara lain yang sebelumnya memiliki pendapatan per kapita lebih rendah seperti Korea Selatan, China dan Malaysia. Pertumbuhan konsumsi listrik menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan GDP pada suatu negara.

“Indonesia yang memiliki tingkat konsumsi listrik yang bergerak flat mengakibatkan pertumbuhan GDP tidak bisa bergerak naik secara signifikan dibanding negara-negara lainnya yang bergerak naik 3 – 10 kali lipat,” kata Bob S Effendi, Kepala Perwakilan ThorCon International, Pte.Ltd., dalam acara Indonesia Power Generation Convention & Exhibition 2019 di Jakarta, Rabu (27/11).

Menurut Bob, kenaikan konsumsi listrik di China dan Malaysia cenderung memacu pertumbuhan GDP. Sedangkan, Korea Selatan sejak pertumbuhan konsumsi listriknya naik secara signifikan sekitar 1985, meroket  meninggalkan negara lainnya.

Salah satu faktor penting pertumbuhan konsumsi listrik di Korea Selatan adalah tidak memprioritaskan konsumsi listrik rumah tangga, tetapi mengandalkan konsumsi listrik dari sektor industri yang membutuhkan kapasitas yang besar. Hal ini juga terjadi di sejumlah negara lainnya.

“Ini berbanding terbalik dengan keadaan di Indonesia, dimana masih mengandalkan konsumsi listrik rumah tangga sebagai yang utama bukan dari sektor industri. Karena memang pertumbuhan industri Indonesia cenderung turun terus,” ungkap Bob.

Pada 2018, pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia per kapita selama sembilan tahun terakhir, meningkat hampir 1,8 kali mencapai sekitar 1.064 kWh/tahun. Dengan angka tersebut Indonesia pada tahun 2018 menduduki peringkat 116 dari 189 Negara (UNDP) dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 0,694 yang masih jauh dibawah IPM level negara maju yakni sekitar 0,9. Semua ketertinggalan tersebut mengakibatkan Indonesia berada dalam middle income trap bersama negara-negara terbelakang lainnya.

Bob menambahkan bahwa jika Indonesia ingin level kesejahteraan seperti Malaysia, maka harus merencanakan pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas besar dalam kurun waktu yang singkat.

“Kondisi sekarang menunjukkan kapasitas terpasang sudah mencapai 62.5 gigawatt (GW) dengan konsumsi listrik 1.064 kWh/tahun/kapita yang masih jauh dari angka level kesejahteraan yang dinyatakan oleh UNDP berada di angka 4.000 kWh/kapita,” ujar Bob.

Agar level kesejahteraan mencapai 4.000 KWh/kapita, maka dibutuhkan sekitar 4 kali dari konsumsi listrik terpasang saat ini, yakni sekitar 190 GW. Untuk mengejar pertumbuhan Malaysia, Indonesia perlu membangun kapasitas terpasang 10 GW/tahun. Sedangkan, untuk mengejar Korea Selatan, perlu membangun 15-18 GW/tahun.

“Saat ini 35 GW saja sulit tercapai, apalagi 190 GW. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka Indonesia akan sulit untuk mengejar level kesejahteraan,” kata Bob.

Dia menekankan, untuk mencapai target tersebut diperlukan pembangkit listrik skala besar yang handal, terjangkau, dan bersih seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Thorcon International merupakan perusahaan Independent Power Producer (IPP) yang mengklaim dapat memenuhi keinginan pemerintah untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) dengan nilai investasi sebesar Rp 17 triliun. PLTT Thorcon dinyatakan memiliki harga jual listrik yang kompetitif dengan PLTU batu bara sehingga dapat menaikkan kebutuhan sektor industri.

“Kekurangan-kekurangan tersebut (kapasitas terpasang) harus dipenuhi dalam kurun beberapa tahun ke depan, untuk mengejar ketertinggalan agar Indonesia dapat mencapai level sejahtera dan dapat keluar dari middle income trap,” tandas Bob.(RA)