JAKARTA – Optimalisasi penggunaan gas dapat dilakukan dengan pengembangan small scale infrastruktur LNG. Hal tersebut dinilai sangat pas dengan kondisi geografi Indonesia.

Aditya Pratama, Direktur Operasi Risco Energy, mengatakan sebagai negara kepulauan, Indonesia tentunya membutuhkan LNG skala kecil agar bisa didistribusikan dengan lebih optimal. Namun demikian salah satu syarat utamanya adalah pengembangan infrastruktur LNG sangat dibutuhkan.

Small scale LNG itu cost effective. Perlu dilihat dan ditinjau kembali multilevel LNG trader bisa dikembangkan. Saat ini Risco mentransfer LNG di daerah industri, Jawa Barat dan Kalimantan,” kata Aditya dalam DETalks secara virtual bertajuk “Optimalisasi Penggunaan Gas Bumi Menuju Transisi Energi”, Selasa (24/8).

Taslim Z Yunus, Sekretaris SKK Migas, mengakui bahwa daya serap gas domestik memang masih rendah, hal itu dibuktikan dari 2012 hingga saat ini rerata pemanfaatan gas bumi untuk pembeli dalam negeri hanya satu persen per tahun. Pertumbuhan gas lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional yang berksiar 4-5 persen per tahun. “Kami berharap konsumsi domestik bisa ditingkatkan lebih besar lagi,” ujar Taslim.

Menurut dia, milestone pengembangan gas bumi dari sisi demand masih belum signifikan. Suplai dan demand masih lebih besar suplai. “Sebetulnya, kita masih kompetitif, jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga lain, kecuali Singapura yang memang harga gasnya sangat tinggi,” ungkap Taslim.

John H Simamora, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Subholding Upstream Pertamina, mengatakan agar pemanfaatan gas bumi optimal dapat dilakukan dengan membangun kesepahaman bersama bahwa gas bumi adalah pilihan yang tepat dalam masa transisi energi. Tanpa kesepahaman bersama, nasib gas bumi akan seperti minyak. “Kesepahaman itu kemudian diturunkan dalam kebijakan yang mendorong optimasi gas bumi, sehingga anatara suplai dan demand bisa berjalan beriringan,” katanya.

Menurut dia, banyak potensi gas yang dimiliki Pertamina di berbagai wilayah, terutama di wilayah Indonesia Timur, tetapi belum bisa dimonetisasi karena belum tersedia infrastruktur. “Gas memang sudah saatnya. Tetapi harus nyata dan jelas. Kita sudah banyak bicara soal ini, tetapi faktanya, tidak banyak berubah,” jelas John.

Lely Malini, Division Head Corporate Planning PT Perusahaan Gas Negara Tbk, mengatakan PGN berharap ada data demand yang lebih akurat sehingga bisa mengoptimalkan kapasitas dan infrastruktur yang dimiliki. Dengan demikian, bisa terus meningkatkan pelayanan kepada pelanggan.

Untuk terus meningkatkan layanan kepada pelanggan, PGN sebagai Subholding Gas Pertamina melakukan beberapa program, di antaranya, gasifikasi kilang, gasifikasi penyediaan tenaga kelistrikan dan juga penyediaan jaringan gas rumah tangga. “Kami merencanakan, pada 2022 sampai 2026 ada satu juta jaringan gas terpasang, baik dengan pembiayaan oleh APBN maupun pembiayaan oleh PGN,” jelas Lely.

PGN berharap dukungan dari pemerintah terutama terkait keberlanjutan bisnis gas bumi karena peranan vital dalam transisi energi nasional. Demikian juga untuk keberlangsungan penyaluran gas eksisting, diperlukan penyiapan infrastuktur tambahan untuk pasokan LNG, dengan harga yang kompetitif.

“Selain itu, perlu ada kajian bersama terkait harga gas bumi terkait penugasan penyaluran gas bumi tertentu di bidang industri. Khususnya insentif dan kompensasi yang dikeluarkan badan usaha,” kata Lely.

A Daryanto Ariyadi, Executive Vice President Gas dan BBM PT PLN (Persero), mengatakan PLN berharap pemerintah dapat membuat kebijakan terintegrasi terkait pemanfaatan infrastruktur gas yang tidak hanya fokus pada peruntukan kelistrikan, tapi juga mengakomodasi kebutuhan gas di luar kelistrikan. Hal ini dinilai dapat membuat biaya infrastruktur gas menjadi lebih kompetitif.

“Perlu dukungan pemerintah dan badan usaha transportasi LNG untuk meningkatkan efisiensi biaya logistik,” ujar Daryanto.

Menurut Daryanto, Indonesia memiliki potensi gas yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, potensi yang ada mampu memenuhi kebutuhan industri hingga 20 tahun ke depan. Namun masih ada jurang yang cukup besar, antara potensi gas yang ada dan permintaan gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dia menuturkan tahun 2012 merupakan milestone pengunaan gas di PLN. Saat itu, harga gas sangat kompetitif dengan sumber energi lain, sekitar US$2,5, namun harga kemudian terus naik. Sementara PLN juga harus memperhatikan aspek biaya pokok produksi. Pada 2017, PLN tidak lagi berfokus pada pemanfaatan gas, tetapi pada sumber energi lain yang lebih kompetitif, yakni batu bara.

“Pada 2020, penyerapan gas di PLN, semakin turun akibat pandemi Covid-19. Pandemi ini juga menjadi aspek yang turut berpengaruh dalam penyerapan gas di PLN,” ungkap Daryanto.