JAKARTA – Rencana upgrading kilang Plaju dan Dumai agar bisa mengolah minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) atau minyak kelapa sawit menjadi bahan bakar alternatif pengganti Solar masih harus menunggu hasil studi kelayakan (Feasibility Study/FS).

Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan setelah FS selesai akan diketahui kesiapan kilang untuk bisa mengolah CPO menjadi bahan bakar green diesel.

“Sedang dalam perencanaan, Pertamina sedang buat FS. Rencana di kilang yang ada, tapi dilakukan studi dulu apa memungkinkan di kilang sekarang dan tidak mengganggu operasi rutin atau perlu dibangun lain, tergantung FS nanti,” kata Feby kepada Dunia Energi, Jumat (12/10).

Menurut Faby, pelaksanaan FS membutuhkan waktu sekitar empat bulan. Setelah itu baru dilakukan penyiapan infrastruktur untuk komersialisasi, apabila hasil FS dinyatakan layak.

Pada dasarnya, penggunaan CPO langsung bisa diaplikasikan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). ” Sudah ada di Italia (PLTD gunakan CPO),” tukas dia.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, sebelumnya mengatakan green diesel jika diimplementasikan berpotensi besar untuk bisa mengurangi impor bahan bakar, khususnya untuk menggantikan Solar.

Kualitas tinggi green diesel sudah tidak diragukan, sehingga pada pelaksanaannya bisa langsung diserap kendaraan. “Green diesel itu lebih tinggi dari biosolar biodiesel, kualitasnya. Green diesel itu proses hydrogenetik,” kata Feby.

Rencana pengembangan bahan bakar green diesel adalah bagian dari strategi pengadaan pasokan energi ke depan. Ini menjadi pilihan jika tidak ingin pasokan bahan bakar terus bergantung dari luar negeri.

“Kalau green diesel itu domestik based supply. Itu isunya, bukan masalah kilang mau dikonversi ke ini dan itu. Current domestic butuh. Green diesel itu sourcenya dalam negeri, berkurang nanti impor crude-nya,” kata Arcandra.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan positif rencana pengembangan kilang sehingga bisa mengolah CPO menjadi green diesel. Karakteristik green diesel serupa dengan diesel oil atau minyak solar, sehingga dapat langsung dipakai oleh kendaraan bermesin diesel.

Hanya saja proses pembuatan biodiesel dan green diesel berbeda. Green diesel menggunakan hydro-treating process.

“Untuk pembuatan green diesel perlu fasilitas hydro treating process tersendiri, tidak sama dengan kilang pengolahan biodiesel. Artinya perlu investasi tambahan untuk kilang produksi green diesel,” papar Fabby.

Namun demikian jika benar terealisasi, pemerintah harus bisa menjamin ketersediaan bahan baku berupa CPO. Pasalnya, untuk harga ditentukan harga feedstock, CPO atau vegetable oil lainnya dan harga minyak mentah. Ini nantinya akan berhubungan langsung dengan harga jual green diesel di pasaran.

“Bisa sama tapi juga bisa lebih mahal. Oleh karena itu kuncinya adalah stabilitas pasokan dan harga feedstock utk menjamin biaya produksi yang kompetitif dengan harga minyak solar,” kata Fabby.(RI)