JAKARTA – Pengembangan briket batu bara dinilai menjadi salah satu solusi meningkatkan konsumsi batu bara domestik. Budi Santoso, Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUSS), mengatakan potensi briket batu bara dapat meningkatkan pasar dalam negeri karena dibutuhkan oleh rumah tangga dan industri menengah kecil.

“Kalau kita melihat kebutuhan bahan bakar LPG (liquefied petroleum gas), minyak tanah, solar dan biomass, jika separuhnya diganti briket bisa menyerap 15 juta-25 juta ton per tahun batu bara,” kata Budi, Kamis (31/3).

Lebih lanjut, menurut Budi, dampak positif dari pengembangan briket adalah penyedian sumber energi yang jauh lebih murah dibandingkan energi LPG, minyak tanah dan solar. Selain itu, diharapkan pula bisa menghidupkan tambang-tambang yang batu baranya tidak ekonomis untuk diekspor.

“Dampak lain adalah berkurangnya subsidi energi LPG dan minyak tanah, dan menjadi penghematan negara,” tukas dia.

Menurut Budi, peluang bisnis briket cukup bagus karena akan melibatkan selain produsen batu bara, juga logistik pengangkutan dan distribusi (pelabuhan/stockpile, truk, pengecer) yang lebih murah dibanding LPG dan bahan bakar minyak (BBM). Apalagi, briket merupakan solusi dimana rakyat perlu energi murah dan tambang batu bara yang kehilangan pasar dan harga rendah.

“Permasalahan briket adalah logistik dan transportasinya harus dipikirkan pemerintah seperti BBM dan LPG, depo-depo dan SPBU menjadi tanggung jawab pemerintah. Promosi juga diperlukan juga dari pemerintah,” kata Budi.

Jeffrey Mulyono,  Presiden Direktur PT Pesona Khatulistiwa Nusantara (PKN) selaku produsen batu bara, mengaku tengah menggenjot pencapaian produksi briket batu bara tahun ini hingga 60.000 ton.

“Kapasitas 60 ribu per tahun tapi belum tercapai, karena kami pakai perekat singkong. Kemarin ada masalah karena musim hujan. Sekarang kami mulai mekanisasi dengan petani singkong. Harapan kita tahun ini bisa sampai 60 ribu ton,” ungkap dia.

Menurut Jeffrey,  pangsa pasar briket batu bara perseroan saat ini masih domestik. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan jika produsen batu bara ini akan menjual produknya ke luar negeri.

“Kalau untuk ekspor, minimal harus 80 ribu ton. Jadi sekarang kita masuknya ke UKM dulu, pabrik genteng, restoran, pesantren. Menggantikan peran minyak dan gas, karena lebih murah.  Saingannya ya itu, serbuk gergaji,” tandas Jeffrey.(RA)