JAKARTA – Pendanaan menjadi salah satu masalah terbesar dalam pengembangan panas bumi. Kebutuhan biaya investasi yang besar serta risiko tinggi iklim investasi yang belum kondusif membuat perbankan nasional harus pikir panjang sebelum menggelontorkan kredit ke pengembanga panas bumi.

Prijandaru Effendi, Ketua API, mengungkapkan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) saat ini sudah membantu PT Geodipa Energi untuk tahap eksplorasi. Dia berharap program pemerintah tersebut juga bisa menyasar ke pengembang swasta.

“Mereka (PT SMI) masuk ke pendanaan eksplorasi, sejauh ini mereka masuk melalui BUMN, Geodipa, belum ke swasta. Nah ini kita lihat suku bunganya, kewajiban, cost of fundnya,” kata Prijandaru saat ditemui disela The 8th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition 2022 di Jakarta, Rabu (14/9).

Menurutnya bantuan pendanaan dari dalam negeri dibutuhkan mengingat pengembangan panas bumi yang high risiko dan butuh dana yang besar dalam tahap eksplorasi. Proses eksplorasi dan pengeboran untuk membuktikan potensi cadangan panas bumi bisa monetisasi ini membutuhkan modal yang besar.

Prijandaru mengatakan PT SMI saat ini sudah membantu PT Geodipa Energi untuk tahap eksplorasi. Saat pengeboran dilakukan dan ternyata dryhole, maka pengembalian investasi bisa dilakukan hanya 50%

“Karena risiko kegagalan itu bisa 50 persen kalau panas bumi. Jadi kami menilai negara perlu hadir jika ingin mengakselerasi pengembangan panas bumi ini,” ujar Priyandaru.

Dia menjelaskan saat ini memang banyak green financing. Namun, suku bunga pinjamannya masih sangat besar. “”Berkisar 6-7%. Hal inilah yang mempengaruhi harga jual listrik kami ke PLN,” ungkap Prijandaru.

Dalam pengembangan panas bumi sekarang ini setiap ada peluang pendanaan maupun kerjasama teknologi sangat diperlukan karena ujungnya akan mempengaruhi harga jual listrik ke PLN sebagai off taker utama listrik. “Hal ini akan sangat mempengaruhi cost of fund kita yang nantinya membuat harga jual listrik tentu saja lebih kompetitif,” ujar Prijandaru. (RI)