JAKARTA – Permintaan untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak oleh pihak China kepada pemerintah Indonesia dinilai tidak tepat, dan cenderung berlebihan.

Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, Pengamat Maritim Indonesia dari Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI), mengatakan pengeboran atau pendirian rig di laut Natuna Utara itu masih berada di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
“Legal standing kita dimata dunia International terhadap Kepulauan Natuna sudah sangat clear, wilayah tersebut 100% milik Indonesia,” katanya, Sabtu(4/12).

Menurut Capt Hakeng, boleh jadi Pernyataan pemerintah China tersebut didasari oleh klaim sepihaknya berupa garis imajiner di wilayah laut mereka atau kita mengenalnya dengan istilah 9 garis putus (9 Dash Line) di Laut China Selatan. Padahal keabsahan dan legalitas 9 garis putus tersebut pun tidak jelas, tidak memiliki dasar hukum internasional serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut). “Dengan demikian apabila dasar pemerintah China mengeluarkan klaim adalah 9 garis putus tersebut, tentunya tidak dapat diakui secara hukum,” ujar Capt Hakeng.

Menurutnya, China sebagai negara yang ikut meratifikasi UNCLOS seharusnya sadar bahwa yang dilakukan tersebut bertentangan dengan hukum internasional. Hal tersebut sebagaimana telah diatur di dalam UNCLOS, yakni kedaulatan suatu negara atau wilayah laut tertentu diukur berdasarkan jarak dari titik pangkal pulau terluar. Bukan berdasarkan ketentuan lain, termasuk latar belakang sejarah.

“Keagresifitasan dan sikap terang-terangan China di wilayah perairan Natuna Utara tentu dapat mengganggu stabilitas dan kedaulatan negara. Karena itu pihak pemerintah Indonesia harus dengan tegas menyikapi isu ini,” ujar Capt Hakeng.

Menurut Kepala Bidang Pertambangan dan Energi di Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim Indonesia (FORKAMI) ini, patut diduga klaim ini hanya akal-akalan pemerintah China saja. Karena ada dugaan pihak China ingin menguasai cadangan migas raksasa yang terdapat di sekitar wilayah Natuna Utara dengan menggunakan dalil 9 dash line tersebut. “Kedaulatan RI atas wilayah ZEE Natuna Utara sudah diakui oleh PBB berdasarkan Hukum Laut Internasional (UNCLOS),” kata Capt Hakeng.

Untuk saat ini di wilayah perairan Natuna ada beberapa perusahaan minyak dan gas yang sedang melakukan kegiatan eksplorasi dengan sistem Production Sharing Contract (PSC). Dan, dari beberapa data yang ada, maka diyakini wilayah perairan Natuna tepatnya di Natuna Timur, memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat besar.

“Dari data yang ada wilayah Blok Natuna Timur yang dahulu dikenal dengan Blok Natuna D-Alpha, Blok tersebut diperkirakan memiliki cadangan gas sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan gas terbukti (proven gas reserves) sebesar 46 tcf. Blok Natuna Timur juga menyimpan cadangan minyak sekitar 500 juta barel,” kata Capt Hakeng.

Ia mengatakan, dengan jumlah cadangan gas sebesar itu mampu memenuhi kebutuhan gas nasional selama 40-60 tahun. Dengan besarnya cadangan gas dan minyak tersebut maka sangat besar manfaatnya bagi kedaulatan serta ketahanan energi nasional. Karena itu sudah sepantasnya apabila pemerintah berusaha maksimal untuk mempertahan dan secepatnya mengembangkan Blok Natuna Timur

Ketegasan pemerintah Indonesia juga perlu dilakukan untuk menjaga kewibawaan sebagai negara berdaulat dan menjaga ketahanan pangan dan energi nasional. Mengingat perairan Natuna selain kaya akan Migas, juga kaya akan sumber daya alamnya diantaranya sumber daya perikanan. Karena itu kehadiran coast guard di wilayah perairan Natuna secara konsisten sangat diperlukan. Sayangnya sampai saat ini, Coast Guard Indonesia masih belum terbentuk.

“Kehadiran coast guard, TNI AL, Kepolisian Republik Indonesia di perairan Natuna akan menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menjaga teritorialnya,” ujar Capt Hakeng.

Capt Hakeng juga kembali mengingatkan bahwa dalam menjaga kedaulatan negara ini, sebaiknya memaksimalkan peran para nelayan serta para pelaut Indonesia. Keterlibatan mereka sangat dibutuhkan sebagai informan ketika ada kapal asing atau nelayan asing yang memasuki wilayah Indonesia. Negara-Negara Lain seperti China sendiri pun melakukan pola ini dalam menjaga kedaulatan negaranya.

“Perairan Indonesia itu sangat luas. Para nelayan dan Pelaut Indonesia semestinya dapat dijadikan sebagai agen bangsa untuk ikut mengawasi 2/3 wilayah Indonesia ini. Mereka bisa menjadi mata serta telinga demi memastikan kedaulatan negara Indonesia tetap terjaga,” katanya.

Esensi Pasal 30 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen kedua, yaitu sistem Hankamrata harusnya bisa segera diterapkan secara maksimal dalam dunia Maritim. Buat para Pelaut dan Nelayan tersebut tahu, bahwa mereka sebagai Anak bangsa saat ini dibutuhkan kontribusinya dan menjadi pejuang dalam arti sebenarnya guna menjaga kedaulatan Indonesia. Kapal-kapal asing yang ingin melakukan kegiatan-kegiatan illegal wilayah perairan Indonesia dapat dipantau dan dapat segera dilaporkan oleh para nelayan dan pelaut Indonesia yang melihatnya

Capt Hakeng juga mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia atas kejadian beberapa tahun lalu terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan. Jangan sampai perairan dan pulau Natuna yang sudah kita kuasai secara penuh bisa lepas dari penguasaan Indonesia. Polanya saya lihat hampir sama. Dimulai dengan klaim sepihak yang muncul dari negara lain.

“China sangat gencar melakukan pembangunan di pulau-pulau terluarnya. Ketika kita melupakan, dan nelayan-nelayan mereka masuk, patut diduga dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, mereka akan melakukan klaim seperti yang dilakukan Malaysia terhadap Sipadan dan Ligitan. Kejadian yang dialami bangsa indonesia terkait Sengketa Sipadan dan Ligitan jangan sampai terulang di Natuna,” kata Capt Hakeng. (RA)