Pengadilan tipikorJAKARTA – Persidangan kasus bioremediasi untuk terdakwa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pekan ini akan segera memasuki tahap putusan sela, yang kemungkinan akan dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, pada Rabu, 26 Juni 2013.

Terkait hal ini, penasehat hukum karyawan CPI, Maqdir Ismail kembali menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili perkara ini. Karena kalau toh dalam proyek bioremediasi benar ada tindak pidana, maka lingkupnya adalah tindak pidana lingkungan, yang payung hukumnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Maqdir pun mengingatkan soal keterangan pakar hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf di depan persidangan kasus bioremediasi, akhir Mei lalu. Asep menjelaskan bahwa dalam pidana lingkungan yang diatur UU 32/2009, tidak diatur tentang pidana yang terkait dengan kerugian keuangan negara atau korupsi. Begitu pun dalam UU lingkungan sebelumnya, UU 23/2007.

“Saya terlibat dalam penyusunan dua UU itu,” tutur Asep di depan majelis hakim. Ia juga menerangkan, dalam penanganan dugaan adanya tindak pidana lingkungan, maka peraturan yang wajib dirujuk adalah UU 32/2009. Karena UU 32/2009 merupakan lex specialis terhadap UU lain dalam hal pidana lingkungan. “Jika ada pelanggaran lingkungan, maka UU 32/2009 inilah yang digunakan, tidak butuh dukungan UU lainnya,” tegasnya.

Dalam UU 32/2009, kata Asep, dijelaskan pula bahwa yang diberi tugas oleh UU untuk menjadi penegak hukum pada pidana lingkungan, adalah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang harus berkoordinasi dengan kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Jika ada laporan masyarakat ke penyidik (Polri atau Kejaksaan) mengenai dugaan pidana lingkungan, maka penyidik harus berkoordinasi ke KLH, untuk kemudian KLH menugaskan PPNS-nya melakukan tindakan penegakan hukum.

Dasar hukumnya, terang Asep, tercantum dalam Pasal 63 UU 32/2009, yang menyebutkan bahwa pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah, yang secara spesifik dalam Pasal 64 UU 32/2009 diamanatkan ke KLH. “Jika dalam menangani perkara pidana lingkungan penegak hukum tidak koordinasi dengan KLH, berarti telah terjadi pengabaian terhadap UU 32/2009,” tandasnya.

Hal senada diungkapkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej, yang juga telah memberikan keterangan di depan persidangan kasus bioremediasi. Edward menegaskan, yang harus menjadi rujukan adalah UU 32/2009. Mengingat sifat kasus bioremediasi yang spesifik, dalam konteks pidana maka ketentuan yang khusus mengesampingkan yang umum.

“Jika ada dua UU yang bersifat khusus, maka digunakan fakta yang lebih dominan. Misalnya dalam konteks lingkungan hidup, maka rujukan yang dipilih adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tandas Edward Omar Syarif Hiariej.  

Maka dari itu, kata Maqdir, Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak berwenang secara absolut mengadili perkara terdakwa , karena pada hakikatnya perkara ini berangkat dan berasal dari dugaan pelanggaran atas hukum lingkungan. “Sehingga perkara ini seharusnya menurut hukum tunduk dalam ruang lingkup tindak pidana umum (Pengadilan Negeri), bukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,” jelas Maqdir di Jakarta, Senin, 24 Juni 2013.

Maqdir menambahkan, dakwaan jaksa terhadap Bachtiar Abdul Fatah, telah jelas didasarkan pada keterangan Edison Effendi, ahli yang sarat konflik kepentingan, berani berbohong di depan sidang, dan menyoal proses bioremediasi dan Kepmen 128/2003 yang merupakan kewenangan KLH.

“Penyidikan oleh penyidik kejaksaan melanggar ketentuan UU Lingkungan karena tidak dilakukan oleh PPNS, mengingat hakikat perkara ini merupakan perkara dugaan pelanggaran atas hukum lingkungan,” kata Maqdir lagi.

Hakim Harus Hormati Putusan Peradilan

Maqdir juga meminta, Pengadilan Tipikor segera menghentikan proses hukum terhadap Bachtiar dan membebaskannya dari tahanan, sesuai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 November 2012. Putusan itu telah mengabulkan gugatan pra peradilan dan memutus bebas Bachtiar dari tahanan penyidik Kejaksaan Agung, serta membatalkan penetapan Bachtiar sebagai tersangka, karena penahanan dan penetapannya sebagai tersangka tidak didahului bukti-bukti yang cukup.

“Kami minta agar aparat penegak hukum untuk meninjau kembali secara seksama salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel tentang pembebasan status Bachtiar sebagai tersangka dalam kasus bioremediasi ini. Tidak ada lagi kasus atas nama Bachtiar Abdul Fatah terkait proyek bioremediasi CPI, dan hakim harus menghormati putusan peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap itu,” ujarnya.

Menurut Maqdir, justru tindakan Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap dan menahan Bachtiar, merupakan bentuk pengabaian terhadap putusan pengadilan, pengabaian terhadap UU lingkungan, dan pelanggaran terhadap hak hukum dan hak asasi Bachtiar sebagai warga negara yang merdeka. Sesuai hukum di Indonesia, putusan praperadilan bersifat final dan mengikat. Jika Kejagung hendak melakukan upaya hukum atas putusan pra peradilan tersebut, mestinya mengajukan peninjauan kembali (PK). 

“Kejagung tidak dapat melanjutkan proses penyidikan kasus ini apalagi membawanya ke penuntutan tanpa ada penetapan pengadilan yang lebih tinggi. Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak mempunyai dasar untuk menerima perkara ini, karena demi keadilan dan kepastian hukum, pengadilan tidak boleh mengadakan persidangan terhadap Bachtiar yang bukan seorang tersangka, dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan terdakwa,” tegas Maqdir lagi.

Pekan lalu, Bachtiar pun telah membacakan eksepsinya di depan sidang. Karyawan berprestasi ini mengaku bingung luar biasa untuk mensikapi dakwaan jaksa, yang ngotot menetapkannya sebagai tersangka, menahannya dan mendakwanya di depan sidang pengadilan atas alasan bahwa tersangka dianggap telah melanggar hukum dalam jabatannya sebagai GM SLS PT CPI.

Jaksa Bagaikan Pimpinan Perusahaan

Sebagai salah satu karyawan dengan karir yang sangat cemerlang sebelum dan selama bekerja di CPI, Bachtiar baru menyadari bahwa penegak hukum bisa menganulir keberadaan dua atasannya, yaitu Vice President Sumatera Light Operations (SLO) dan Executive Director Sumatera Operations (SMO).

“Jaksa menempatkan diri sebagai pihak yang menentukan wewenang saya sebagai GM SLS dan bertindak sebagai penilai kinerja saya yang paling tinggi, jauh melebihi kewenangan top manajemen CPI,” ujar Bachtiar.

“Sebagai GM SLS, Performance Management Plan (PMP) tahunan saya direview atau dikaji dan disetujui oleh atasan struktural langsung saya V.P Sumatera Light Operations, berikut atasan beliau yaitu Executive Director Sumatera Operation,” jelas Bachtiar di depan majelis hakim.

“Tugas pokok dan fungsi selaku GM SLS telah saya laksanakan sesuai dengan rencana kerja yang disetujui SKK Migas dan dilandasi kebijakan, ketetapan dan aturan standar Keselamatan, Kesehatan dan Kebersihan Lingkungan (K3L) yang berlaku di lingkungkan PT. CPI sesuai amanah pengawasan dan bimbingan yang berkesinambungan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH),” tambahnya.

“Jika saya dianggap melakukan pelanggaran seperti yang disangkakan oleh jaksa penuntut umum menyalahgunakan kewenangan yaitu menandatangani kontrak bridging C905616 dengan direktur PT. Sumigita Jaya (SGJ) selagi saya mengetahui ijin SBF tidak berlaku serta PT. SGJ tidak memiliki kualifikasi dan izin, tentunya atasan saya dan pimpinan Chevron akan menerapkan konsekuensi keras termasuk pemecatan atas pelanggaran yang saya lakukan sesuai aturan kepegawaian di CPI,” sebutnya lagi.

Terdakwa mengaku tidak pernah mendapat teguran atau tindakan disiplin apapun atas kinerjanya bahkan sebaliknya mendapatkan dukungan dan pujian dari manajemen CPI atas kinerjanya sebagai GM SLS. 

“Saya bingung tujuh keliling, apa masuk akal orang lain (penegak hukum) yang dengan hanya supremasi hukum yang dimiliki bisa lebih paham dari pimpinan Chevron yang menetapkan dan menjalankan tata kelola perusahaan dengan sistim kontrol internal yang ketat dan berlapis, sekaligus bisa menuduh saya sebagai koruptor yang menyalahgunakan kewenangan, padahal pimpinan CPI dimana saya berkarya mendukung sekaligus memuji kinerja saya selama bertugas sebagai GM SLS,” ungkap Bachtiar.

“Setiap langkah taktis pekerjaan diketahui dan dilaksanakan atas sepengetahuan dan persetujuan atasan saya V.P Sumatera Light Operations dan atasan beliau Direktur Eksekutif operasi wilayah Sumatera. Aktivitas pelaksanaan pembersihan lahan dan pemulihan lahan terkontaminasi minyak mentah di lapangan Minas, hanyalah sebagian kecil dari tugas saya selaku GM SLS, sebagai komitmen perusahaan yang harus dijalankan sesuai mandat UU lingkungan dan arahan KLH,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)