JAKARTA – Penerimaan negara dari PT Freeport Indonesia  anjlok dari US$2,195 miliar menjadi US$950 juta. Padahal dengan akuisisi 51% saham Freeport Indonesia, pendapatan negara seharusnya meningkat, dari royalti tembaga, emas dan perak yang semula masing-masing sebesar 1,5%, 1% dan 1% menjadi sebesar 4%, 3.75% dan 3.25%. Belum lagi pendapatan tidak langsung berupa pembagian dividen.

“Pendapatan negara dari Freeport 2018 mencapai US$2,195 miliar, termasuk dividen sebesar US$180 juta. Tapi pada 2019, pendapatan negara anjlok menjadi hanya sebesar US$950 juta dan dividen tidak dibagikan. Ini mengkhawatirkan, sebagai wakil rakyat kami kecewa. Keputusan pemerintah untuk divestasi 51% saham Freeport pada 2018 lalu jadi dipertanyakan hasilnya,” kata Mulyanto, anggota Komisi VII DPR, Senin (6/7).

Mulyanto mengingatkan saham Indonesia di Freeport sebesar 51%, dibeli dengan cara utang melalui penerbitkan obligasi global internasional sebesar US$4 miliar dengan tenor 30 tahun.

“Dan sekarang untuk membayar cicilan utang yang jatuh tempo, pada Mei 2020 utang lagi sebesar US$ 2.5 miliar dengan cara yang sama. Ini kan artinya gali lobang tutup lobang. Dari utang ke utang,” tegas dia.

Berdasarkan RKAB proyeksi penerimaan negara 2020 hanya sebesar US$ 650 juta, kurang dari sepertiga penerimaan negara sebelum akuisisi. “Realisasi selama Januari-Mei 2020 penerimaan negara hanya sebesar US$117 juta. Juga tidak ada penerimaan dividen pada tahun ini,” kata Mulyanto.

Baik Mineral Industry Indonesia (MIND ID) atau Freeport berulangkali menyatakan bahwa penurunan pendapatan dan tidak adanya pembagian dividen pada 2019 dan 2020 akibat proses pemindahan kegiatan penambangan dari tambang terbuka ke penambangan di bawah tanah.(RI)