JAKARTA – Transisi pembangkit listrik dari energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) masih menemui hambatan hingga saat ini. Berdasarkan Statistik Ketenagalistrikan 2018, bauran EBT di dalam kapasitas terpasang nasional pada 2018 hanya mencapai 15,06% atau lebih rendah dibandingkan bauran 2014.

Penentuan harga diduga menjadi salah satu instrumen yang paling krusial untuk mendukung transisi EBT di sektor ketenagalistrikan dalam negeri.

Pemerintah pun tengah mengkaji ulang kebijakan harga yang selama ini diterapkan serta merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur harga jual listrik berbasis EBT.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM – FEBUI) telah melakukan estimasi harga keekonomian listrik dari 312 pembangkit listrik berbasis EBT yang ada di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.

“Terdapat dua skema harga yang disimulasikan dalam kajian, yakni skema harga tunggal dan skema staging,” kata Alin Halimatussadiah, Head of Environmental Economics Research Group LPEM-FEBUI dalam acara diskusi “Telaah Harga Dan Biaya Riil Pembangkitan Listrik Berbasis Energi Terbarukan” di Jakarta, Rabu (15/1).

Melalui skema harga tunggal, harga listrik tidak akan berubah sampai dengan akhir masa purchasing power agreement (PPA). Sementara itu, harga listrik akan berbeda dalam dua periode.

Pada periode pertama, harga pembelian listrik oleh PT PLN (Persero) akan ditingkatkan di atas rata-rata untuk membantu pengembang membiayai
investasi awalnya. Selanjutnya, harga akan diturunkan setelah para pengembang melalui periode capital
expenditure (Capex).

Alin mengatakan berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan antara lain,  pertama, secara umum, harga berbasis biaya pokok penyediaan (BPP) tidak mendukung keekonomian dari bbisnis pembangkit listrik berbasis EBT. Oleh karenanya, kebijakan harga listrik berbasis EBT perlu dievaluasi ulang.

Kedua, kebijakan harga staging dapat meningkatkan kemampuan pengembang untuk melunasi pinjamannya. Ketiga, faktor lokasi perlu dipertimbangkan dalam menentukan harga listrik EBT.

Keempat, skala pembangkit listrik EBT mempengaruhi biaya listrik per kWh, efisiensi produksi meningkat
seiring dengan kenaikan kapasitas pengembang.

“Rekomendasi kelima, kebijakan harga EBT perlu diikuti dengan instrumen kebijakan lainnya yang dapat mendorong daya saing dari bisnis EBT serta menurunkan risiko bisnis EBT,” tandas Alin.(RA)