JAKARTA – Pemerintah masih berusaha untuk bisa mengubah skema penyaluran subsidi di sektor energi. Adapun skema yang sekarang diterapkan memiliki banyak kelemahan. Terbesar adalah subsidi yang tidak tepat sasaran. Dua subsidi energi yang membebani keuangan negara saat ini adalah subsidi listrik, subsidi BBM jenis solar serta subsidi LPG 3 kg.

Ruddy Gobel, Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), mengatakan kajian dan uji coba berbagai skema penyaluran subsidi secara tertutup telah dilakukan pemerintah sejak 2019 lalu. Penyaluran dengan memanfaatkan teknologi informasi secara non tunai menjadi pilihan terdepan, bahkan untuk penyaluran LPG bersubsidi pernah dilakukan uji coba secara terbatas. Namun strategi itu urung dilakukan lantaran masih carut marutnya data penduduk yang berhak menerima subsidi.

Saat ini validasi data terus dilakukan agar pelaksanaan penyaluran subsidi secara non tunai dan langsung ke masyarakat bisa diterapkan dua tahun dari sekarang.

“Pemerintah bersepakat untuk membuat penyaluran subsidi ini melalui non tunai. Tapi pelaksanaannya sepertinya baru akan berlangsung pada 2022 atau paling lambat 2023 mendatang,” ujar Ruddy dalam diskusi virtual, Kamis (18/2).

Menurut Ruddy proses penemuan skema yang tepat ini tidak mudah. Persoalan sinkronisasi data menjadi tantangan utama dalam proses ini.

“Butuh data yang clear. Kita udah ada datanya. Tapi kita butuh waktu untuk data itu diregist semua dengan baik. Kedua, kita butuh clear mekanisme,” kata Ruddy.

Uji coba pemanfaatan teknologi keuangan biometrik dan voucher elektronik untuk penyaluran subsidi LPG pernah dijalankan di tujuh wilayah kabupaten/kota dan menjangkau 14.193 rumah tangga sasaran dan 172 toko LPG yang dilakukan di 7 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Tangerang, Kabupaten Tomohon, Kota Bukit Tinggi, Kabupaten Gunung Kidul, Kota Kediri, Kota Jakarta Utara dan Kabupaten Bogor.

Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengatakan  beban subsidi selama ini dari tahun ke tahun memang membebani APBN. Untuk subsidi dan kompensasi tarif listrik yang harus dibayarkan oleh pemerintah ke PLN saja dari 2017 ke 2020 terus naik yakni dari Rp 53,34 triliun menjadi Rp 79 triliun pada 2020.

“Angka ini terus naik dari tahun ke tahun. Hal yang sama juga terjadi pada subsidi LPG. Dari tahun ke tahun angka konsumsi terus meningkat berpengaruh pada jumlah subsidi yang harus dibayarkan pemerintah ke Pertamina,” ungkap Fabrio.

Menurut Fabrio, mekanisme paling efektif adalah menetapkan harga LPG dan listrik sesuai harga pasar. Nantinya, kepada masyarakat yang tidak mampu pemerintah akan memberikan subsidi tersebut melalui skema non tunai.

“Ini yang kami juga sedang rancang seperti apa skemanya agar nantinya skema non tunai ini benar benar bisa digunakan masyarakat untuk membayar LPG dan listrik bukan untuk kebutuhan lainnya,” kata Febrio.(RI)