JAKARTA – Pemerintah mengkaji perubahan formulasi penetapan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). Formula yang digunakan saat ini dinilai sudah tidak relevan sehingga terdapat selisih cukup jauh antara ICP dengan patokan harga minyak dunia.

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Miineral (ESDM), mengatakan pemerintah mempertimbangkan perubahan formulasi penetapan ICP karena berbagai alasan. Faktor utama agar selisih antara ICP dan patokan harga minyak dunia, seperti Brent tidak terlampau jauh.

Jika ICP tidak terlampau jauh dengan harga minyak internasional, maka kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tidak perlu lagi menjual produksi minyaknya ke luar negeri.

“Saya inginnya ICP mendekati Brent, mendekati harga pasar internasional. Jadi kalau harga ICP sudah dekati harga pasar, KKKS tidak usah jual ke internasional, jual saja ke Pertamina,” kata Djoko saat ditemui di Kementerian ESDM Jakarta, Selasa (22/5).

Menurut Djoko, kondisi sekarang selisih antara ICP dengan Brent lebih dari US$1. Jika formula diubah maka ditargetkan selisih tidak akan lebih dari US$ 1.

“Kadang-kadang ada perbedaan selisih yang lumayan, semua ICP. Ada average selisih US$ 3, minimal (target) US$ 0,5,” kata dia.

Selain PT Pertamina (Persero) bisa dengan mudah mendapatkan pasokan minyak, keuntungan lain dari tidak terlalu jauhnya selisih antara ICP dan harga minyak internasional adalah peningkatan kegiatan eksplorasi.

Tidak hanya itu, negara juga akan mendapatkan keuntungan jika perubahan formula ICP terealisasi, yakni ikut terkereknya penerimaan negara yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan subsidi.

“Eksplorasi bisa bergairah kalau harga ICP sesuai harga internasional. penerimaan negara bisa bertambah dan itu bisa digunakan untuk tambahan subsidi,” tandas Djoko.

Data Kementerian ESDM menyebutkan, untuk rata-rata ICP pada April adalah sebesar US$67,43 per barel. Selisih jauh dibanding harga minyak mentah berjangka Brent yang saat ini sudah tembus ke posisi US$79,22 per barel.(RI)