JAKARTA – Pemerintah dinilai perlu merencanakan strategi yang lebih komprehensif untuk melakukan transisi ekonomi dan transisi energi di sektor kelistrikan yang saat ini sangat intensif karbon karena didominasi pembangkit berbahan bakar fosil menuju pembangkit rendah karbon.

Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Indonesia Coal Dynamics: Toward A Just Energy Transition In lndonesia menganalisa faktor-faktor kunci yang menentukan transisi energi batu bara di lndonesia khususnya di sektor kelistrikan.

“Kajian ini mencoba memetakan berbagai aspek yang perlu mendapatkan perhatian bagi pemerintah dan pengambil kebijakan lainnya dalam melakukan transisi atas ketergantungan batu bara sebagai komoditas perdagangan dan ekspor, serta sumber energi untuk pasokan listrik domestik,” kata Faby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (1/4).

Faby mengatakan, transisi energi menuju sistem energi rendah karbon merupakan fenomena global yang merupakan reaksi terhadap tiga tren. Pertama, tantangan global untuk mengurangi laju peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim dalam rangka memenuhi Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Kedua, kualitas udara (air quality) yang semakin memburuk dan berdampak pada biaya kesehatan dan kualitas hidup.

Dan ketiga, semakin kompetitifnya biaya investasi teknologi energi terbarukan khususnya angin dan surya serta teknologi battery yang memberikan harga listrik yang lebih murah dan semakin kompetitif terhadap pembangkit batu bara.

Transisi energi ditandai dengan semakin meningkatnya porsi bauran energi terbarukan dl sistem pembangkitan tenaga listrik dan menurunnya porsi energi fosil. Walaupun batu bara masih cukup dominan dan dipakai di 78 negara di dunia serta menghasilkan 40% dari seluruh listrik dunia, tetapi di sejumlah negara terdapat kebijakan dan rencana untuk mengurangi bahkan menghilangkan PLTU batu bara. Dari 78 negara, terdapat 30 negara dan 22 pemerintah sub-nasional yang telah merencanakan untuk menutup PLTU batu bara sebelum 2030 dan tidak membangun PLTU batu bara yang baru. Serta merencanakan menambah porsi energi terbarukan yang lebih besar dalam bauran pembangkitnya.

Menurut Faby, transisi energi global perlu menjadi perhatian Indonesia sebagai salah satu negara dengan sumber batu bara yang besar, dan eksportir batu bara terbesar di dunia, yang mengandalkan permintaan batu bara di negara-negara Asia, khususnya China, India, Jepang, Korea Selatan dan pasar di negara-negara Asia Tenggara.

“Di sejumlah negara-negara tujuan ekspor batu bara tersebut, kebijakan pemerintah dan tren pembangunan PLTU batu bara mengalami periambatan,” tandas Faby.(RA)