JAKARTA – Berbagai upaya kini digalakan guna mendorong transisi energi menuju Net Zero Emission di tahun 2060 atau lebih cepat. Salah satu cara yang ditempuh melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon.

Munr Ahmad, Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menyatakan Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk menurunkan emisi GRK, yaitu sebesar 29% dari Bussines as Usual (BaU) atau sebesar 41% dengan bantuan internasional di tahun 2030. Sesuai dokumen updated Nationally Determined Contribution (NDC), sektor energi memiliki target untuk menurunkan emisi GRK sebesar 314 juta Ton CO2e dari BaU di tahun 2030 dan 446 juta Ton CO2e dengan bantuan internasional.

Perdagangan emisi, kata Munir, sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, wajib diberlakukan paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak PP tersebut diberlakukan, yaitu 10 November 2024. Sebagai persiapan menuju tahapan mandatory di tahun 2025. “Maka pada tahun ini, Ditjen Ketenagalistrikan mulai melaksanakan uji coba perdagangan karbon untuk PLTU batubara secara voluntary,” kata Munir (4/12).

“Untuk pelaksanaan uji coba ini dilakukan melalui Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi Kategori C yaitu Penurunan dan Perdagangan Emisi Karbon di Sektor Pembangkit Listrik,” ujar Munir.

Munir mengatakan bahwa Pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang salah satunya mengatur mengenai pajak karbon. Pemerintah Indonesia akan menerapkan pajak karbon secara bertahap pada tahun 2021-2025 dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Pada tanggal 1 April 2022 direncanakan akan mulai diterapkan pajak karbon (cap & tax) secara terbatas pada PLTU Batubara dengan tarif Rp30.000/tCO2e.

“Untuk kegiatan di PLTU batubara, penerapan pajak karbon (cap and tax) akan diterapkan ke dalam uji coba perdagangan karbon yang sedang dilakukan, sehingga mekanismenya adalah cap and trade and tax,” ujar Munir.

Secara umum pelaksanaan uji coba tersebut bertujuan untuk sebagai persiapan dalam rangka pelaksanaan perdagangan emisi secara mandatory kedepannya.

Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa uji coba perdagangan karbon di pembangkit listrik adalah dengan konsep cap and trade dan offset.

“Dimana untuk cap merupakan nilai batas atas emisi GRK yang ditetapkan oleh pemerintah, trade merupakan perdagangan selisih tingkat emisi GRK terhadap nilai cap diantara unit yang di atas cap dengan unit di bawa cap, dan offset merupakan penggunaan kredit karbon dari kegiatan-kegiatan aksi mitigasi dari luar lingkup perdagangan karbon untuk mengurangi emisi GRK yang dihasilkan,” jelas Wanhar.

Wanhar mengungkapkan bahwa uji coba perdagangan karbon tersebut diikuti oleh 32 unit pembangkit PLTU, dimana 14 unit PLTU bertindak sebagai buyer, dan 18 unit PLTU bertindak sebagai seller.

Hari Wibowo, Kasubdit Monitoring Pelaporan Verifikasi dan Registri Aksi Mitigasi Sektor Berbasis Non lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan bahwa KLHK berfokus pada kerangka transparansi dalam penerapan Nilai Ekonomi Karbon dalam pencapaian pengendalian Emisi GRK.

“Poinnya adalah kerangka transparansi, itu merupakan pengukuran, pelaporan, validasi dan verifikasi dalam penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Kemudian dalam kerangka transparansi ini nanti akan ada sistem registri nya, dan ini juga merupakan usaha kami dalam membuat suatu bukti bahwa aksi mitigasi untuk penurunan emisi tersebut dilakukan,” jelas Hari.

Pajak Karbon untuk Ekonomi Berkelanjutan

Dalam kesempatan tersebut disosialisasikan juga penerapan pajak karbon sesuai Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Hadi Setiawan, Peneliti Ahli Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, mengatakan nantinya penerimaan dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

“Kebijakan pajak karbon ini tentunya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan paket kebijakan komprehensif untuk penurunan emisi dan sebagai stimulus untuk transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan,” ungkap Hadi. (RI)