JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait aturan kewajiban penggunaan kapal nasional untuk kegiatan ekspor batu bara. Arifin Tasrif, Menteri ESDM, mengatakan Kementerian ESDM telah berkirim surat ke Menteri Perdagangan dalam rangka meminta adanya fleksbilitas penggunaan kapal dalam kegiatan pengangkutan batu bara.

Ketika ada fleksibilitas aturan main penggunaan kapal nantinya maka diharapkan tidak akan ada gangguan atau keterlambatan dalam kegiatan ekspor batu bara.

“Kami sudah sudah kirim surat (ke Kementerian Perdagangan). Supaya ada fleksibilitas, kalau kapalnya ada di Indonesia bagaimana caranya mengatasi supaya angkutan nggak terlambat,” kata Arifin ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (21/2).

Jika kapal nasional sedikit dan terbatas untuk kegiatan pengapalan, kegiatan ekspor batu bara dipastikan terganggu atau minimal akan ada keterlambatan dalam pengiriman lantaran menurut data Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) hanya 1% kapal nasional yang mampu melakukan ekspor batu bara.

Dalam kajian APBI yang diterima Dunia Energi ukuran armada kapal curah Indonesia tidak memadai untuk mengangkut ekspor batu bara Indonesia.

Beberapa catatan atau poin yang harus diperhatikan antara lain adalah jumlah armada kapal curah secara keseluruhan (non semen), yang berusia di bawah 20 tahun adalah sebanyak 69 kapal dengan DWT (tonase bobot mati) hanya 3,5 juta metrik ton.

Kemudian total aliran ekspor batubara lebih dari 10 x jumlah DWT kapal tersebut di atas per bulan dan kapal di atas sudah berkomitmen untuk melayani smelter domestik, seperti PLN, IPPs dan lain-lain.

Lalu armada Indonesia memiliki armada ukuran Panamax yang sangat sedikit dan tidak ada armada yang berukuran Cap Sized. Kapal ukuran Panamax dan Cape Sized adalah mutlak dibutuhkan untuk rute
angkut ekspor jauh seperti India, Cina, Taiwan, Korea, Jepang.

Carmelita Hartoto, Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners Association (INSA), mengatakan sejak terbitnya Permendag No 82 tahun 2017, INSA telah melakukan koordinasi dengan anggotanya dan juga stake holders terkait langsung dengan kebijakan ini, misalnya dengan Kemendag, Kemenhub, Kementrian ESDM dan APBI.

“INSA memberi kesempatan kepada semua anggotanya yang ingin berpartisipasi untuk mengangkut cargo ekspor batu bara dan CPO. Tentunya anggota INSA harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Peraturan Menteri Perdagangan ,” ujar Carmelita.

Dia juga menjelaskan kapal bendera Merah Putih milik perusahaan pelayaran nasional saat ini sebagian besar 95% – 98% digunakan untuk memenuhi kebutuhan angkutan batu bara domestik. “Sedangkan 2% – 5% sisanya yang digunakan untuk angkutan cargo ekspor batu bara,” kata Carmelita.

Pemendag Nomor 82 Tahun 2017 mengatur tentang Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu. Antara lain komoditas kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan batu bara.

Permendag tersebut telah mengalami dua kali perubahan, yakni melalui Permendag No.48 Tahun 2018 dan Permendag No.80 Tahun 2018. Dalam beleid tersebut, pelaksanaan penggunaan Asusansi Nasional berlaku efektif pada 1 Februari 2019, sedangkan penggunaan kapal nasional akan diberlakukan pada 1 Mei 2020. (RI)