JAKARTA – Kementerian Keuangan memastikan akan mempermudah akses bagi para pengembang panas bumi. Hal ini merupakan bagian dari upaya untuk menggenjot penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

Heri Setiawan, Direktur Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan, mengatakan ke depan akses pinjaman untuk pengembangan panas bumi akan dipermudah. Selain itu, jika ada pengembang yang mau mengajukan pinjaman ke luar negeri maka pemerintah juga tidak ikut mendukungnya berupa pemberian jaminan.

“Salah satunya melalui dukungan penjaminan pinjaman langsung yang merupakan pinjaman kepada BUMN dan lembaga keuangan internasional dengan jaminan pemerintah,” kata Heri dalam diskusi virtual, Rabu (19/8).

Akses pinjaman penting untuk panas bumi. Pasalnya biaya pengembangannya tidak sedikit. Karakteristik yang mirip dengan industri migas membuat risiko pengembangan panas bumi juga tinggi.

Pengembangan panas bumi membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Hal ini menjadi hambatan terbesar pengembangan panas bumi selama ini.

“Hal itu sangat dipengaruhi besarnya risiko dalam fase eksplorasi mengingat besarnya biaya dalam pengeboran, sedangkan hasil uap panasnya masih belum bisa dipastikan,” ungkap Heri.

Ida Nurhayatin Finahari, Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM, mengungkapkan untuk bisa menggenjot EBT tidak mudah, terlebih saat ini target tetap harus dicapai dalam suasana pandemi Covid-19. Namun hal itu tidak akan sia-sia lantaran panas bumi di Indonesia akan memberikan multiplier effect yang besar bagi negara.

“Pengembangan energi panas bumi dapat memberi dampak ganda multiplier efek terhadap beberapa sektor serta memiliki keunggulan antara lain energi panas bumi merupakan sumber energi bersih ramah lingkungan dan terbarukan dengan kapasitas faktor yang besar sehingga signifikan berkontribusi pada bauran EBT dan pengurangan emisi gas rumah kaca,” kata Ida.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga semester I 2020, Indonesia telah memiliki pembangkit EBT terpasang dengan kapasitas 10,4 Giga Watt (GW). Angka tersebut didominasi oleh pembangkit hydro 6,07 GW, panas bumi 2,1 GW, dan serta pembangkit EBT lainnya dengan kapasitas kecil-kecil. Angka tersebut tentunya masih sangat minim bila dibandingkan potensi EBT yang dimiliki dan bisa dikembangkan ke depannya. Oleh karena itu, Ida mengatakan dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk mendorong pengembangan EBT.

“Kami tidak dapat bekerja sendiri, tantangan transisi energi membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dan stakeholder lainnya,” tegas Ida.(RI)