JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menginisiasi kajian terbaru tentang kajian bisnis, komersialisasi teknologi serta sumber bahan baku Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengatakan dalam kajian terbaru nanti akan ditindaklanjuti kemungkinan pengembangan PLTN untuk diakselerasi implementasinya. Selama ini pembahasan PLTN  hanya sebatas di lingkup regulasi tanpa mendalami kajian terkait ketersediaan bahan baku, teknologi (termasuk safety), Sumber Daya Manusia (SDM), kesiapan masyarakat, bisnis proses dan komersialisasi.

“Nuklir untuk listrik, lalu ada desakan dari stakeholder untuk melihat menggunakan nuklir itu masukannya macam-macam,” kata Arcandra di Kementerian ESDM, akhir pekan lalu.

Menurut Arcandra, untuk ketersediaan bahan baku harus dipahami adalah yang tersedia di Indonesia bukan cadangan tapi potensi. Jika reserve adalah sebuah kepastian sementara di Indonesia baru potensi. Serta melihat kemampuan Indonesia mengubah  harus diperhatikan juga apa Indonesia mampu kalau punya resorces menjadi reserve.

“Kalau sudah reserve pun apa ini bisa kita tambah apa tidak?Jika bisa, apakah bisa kita pakai apa tidak?  Tadi sepakat harus diperbaiki pengertian. Kalau kita punya,  apakah bisa pakai atau tidak. Itu masih butuh waktu panjang,” ungkap dia.

Hal berikutnya adalah teknologi. Selama ini teknologi yang tersedia menyangkut Thorium.

Namun Arcandra menegaskan harus dipastikan dulu pemanfaatan Thorium dengan merujuk pada berbagai PLTN yang sudah terbangun.

“Apakah ini teknologi yang sudah ada diaplikasikan di dunia ini apa belum. Thorium belum ada, baru menuju arah sana. Batan menyatakan paling tidak kita butuh 10 tahun lagi,” kata dia.

Data Kementerian ESDM menyebutkan luas pelamparan aluvial diseluruh Bangka Belitung sekitar 400.000 hektar, sehingga potensi/sumberdaya: Thorium 120.000 ton, Uranium 24.000 ton, dan Unsur Tanah Jarang tujuh juta ton

Hal terpenting lainnya adalah kesiapan masyarakat Indonesia dengan kehadiran teknologi nuklir. Perlu adanya perubahan paradigma dari berbagai sisi kehidupan jika nuklir jadi masuk ke Indonesia. Pengelolaan teknologi nuklir  tidak sama dengan mengelola teknologi sumber daya alam lainnya. Diperlukan budaya disiplin tinggi dalam mengembamgkan nuklir.

Hal lainnya yang perlu dikaji mendalam adalah terkait komersialisasi dan bisnis proses PLTN.

Arcandra mengatakan harus dilihat berapa banyak teknologi provider yang mampu mengembangkan PLTN.

Pemerintah sudah mendapatkan penawaran pengembangan PLTN dari perusahaan asal Rusia, yakni Rosatom yang telah memproyeksikan jika menggunakan resources mayoritas Thorium maka harga listrik US$12 cent per kWH dengan kapasitas komersial 1. 000 Megawatt (MW).

Menurut Arcandra,  perhitungan tarif listrik PLTN di Bangka oleh Rosatom (Rusia) belum ada perhitungan yang lebih akurat spesifik, karena keekonomian PLTN sangat tergantung lokasi, meskipun beberapa publikasi global ada yang menyatakan US$ 3 cent per kWh.

Dalam kajian yang ada untuk mengembangkan energi nuklir pembangkit berkapasitas 1.000 MW membutuhkan dana US$6 juta per MW. Padahal biaya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) jauh lebih murah.

“Mungkin ada yang US$ 1 juta per MW. Lalu bagaimana dengan PLTA atau pembangkit  lain. Kita harus bisa bandingkan apakah nuklir secara komersial bisa lebih murah dari source yang lain,” kata Arcandra.

Menurut Arcandra, rata-rata harga listrik PLTN di dunia saat ini sekitar US$ 9,7-13,6 cent per kWh per tahun. Sementara Biaya Pokok Produksi (BPP) nasional US$ 7,9 cent per kWh.

Jika dilihat kondisi itu berarti harga listrik dari PLTN masih diatas BPP nasional.

“Ini akan jadi konsen kita semua dari sisi komersial. Untuk itu kita tidak usah debat apakah kita bangun atau tidak tapi lihat dulu aspek lain. Kalau itu masuk kita lihat bagaimana PLTN ini bisa dibangun,” kata Arcandra.(RI)