JAKARTA – Pemerintah harus konsisten dalam penerapan formula harga BBM yang disusunnya sendiri. Saat ini bukan saatnya kembali mempertimbangkan kebijakan yang populis. Justru kredibilitas pemerintah akan dilihat oleh dunia usaha dimana hal tersebut akan mempengaruhi iklim investasi yang ada.

Berly Martawardaya, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Indonesia,, mengatakan selama ini pemerintah terlihat tidak konsisten dengan aturan yang dibuat. “Ada salah kaprah. Seakan pemerintah bebas dan suka-suka saja terhadap harga BBM,” kata Berly kepada Dunia Energi, Selasa (24/3).

Berly menuturkan tidak konsistennya pemerintah sering terlihat dalam menerapkan aturan. Pada saat Pilpres misalnya, ada aturan yang seharusnya dilakukan evaluasi harga BBM, tapi karena sedang masa pemilu maka evaluasi urung dilakukan. Ini tentu dilihat berbeda oleh para investor.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 62 K/10/MEM/2019, tentang Formula Harga Dasar Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan. Aturan tersebut ditetapkan pada 2 April 2019. formulanya termasuk harga minyak global, nilai tukar dolar Amerika Serikat dan lainnya.

“Ini diterapkan dengan ketat dan berkala (tiap tiga bulan). Pada masa kampanye Pilpres penerapannya nggak ketat (bahasa halusnya). Sekarang waktunya diterapkan lagi dengan ketat,” kata Berly.

Terkait harga minyak dunia yang saat ini sedang rendah memang banyak anggapan yang menilai harga BBM bisa diturunkan tidak hanya nonsubsidi tapi juga termasuk BBM subsidi. Presiden Joko Widodo awal pekan ini juga meminta jajarannya untuk mengkalkulasikan kemungkinan perubahan harga seluruh jenis BBM.

Namun Berly mengingatkan komponen pembentuk harga tidak hanya harga minyak dunia, tapi ada nilai tukar rupiah. Saat ini rupiah sedang dalam periode terpukul karena sudah mendekati Rp 17.000 per dolar AS.

“Ikutin saja formulanya (turun kalau formula turun), tapi mungkin juga naik karena dolar Amerika Serikat kan sekarang sudah menembus Rp 17 ribu,” katanya.

Polemik perubahan harga BBM seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah konsisten terhadap aturannya. Karena dengan begitu dunia usaha juga bisa menilai positif kebijakan pemerintah. Ujungnya tentu berdampak pada kondisi iklim investasi yang semakin dipercaya apalagi ditengah kondisi ekonomi sekarang kepercayaan sangat penting.

“Kredibilitas penting dijaga. Laksanakan aturan yang dibuat. Intinya sesuaikan harga megikuti formula. Kalau hasil hitungannya naik ya naik, kalau turun ya turun,” tegas Berly.

PT Pertamina (Persero) sendiri mengaku siap menjalankan kebijakan pemerintah terkait harga BBM. Adapun kebijakkan baru pemerintah dalam formula harga adalah terkait dengan formula harga dasar yang jadi patokan dalam penetapan harga jual BBM yakni Keputusan Menteri ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020. Beleid itu memuat perubahan formula harga dasar dengan harga tertinggi ditentukan berdasarkan biaya perolehan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin dengan perhitungan, untuk bensin dibawah RON 95 dan jenis Minyak Solar CN 48 dengan rumus, Mean of Platts Singapore (MOPS) atau Argus + Rp 1.800/liter + Margin (10% dari harga dasar). Kemudian, untuk jenis Bensin RON 95, jenis Bensin RON 98 dan jenis Minyak Solar CN 51 ditetapkan dengan rumus, MOPS atau Argus + Rp 2.000/liter + Margin (10% dari harga dasar).

Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan ada waktu hingga akhir bulan sambil menunggu pergerakan harga minyak dunia sebelum evaluasi bulanan dilakukan. Pertamina sendiri tidak keberatan jika memang berdasarkan formula dan kebijakan pemerintah menuntut adanya penyesuaian harga BBM.

“Jika hingga akhir bulan ini harga minyak dunia tetap di posisi rendah, maka dimungkinkan bagi Pertamina untuk melakukan penyesuaian harga BBM nonsubsidi. Adapun untuk harga BBM subsidi dan penugasan adalah kewenangan pemerintah untuk penetapan harga jualnya,” kata Fajriyah.(RI)