JAKARTA – Pertambangan Tanpa Izin (PETI) harus dikelola dengan berbagai cara, tidak melulu dengan mengandalkan kekuatan aparat keamanan. Pemerintah dinilai harus menemukan akar permasalahan yang tepat untuk mencegah kegiatan PETI.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, mengungkapkan PETI meluas dari sisi titik penambangan dan juga aktornya. PETI muncul karena kebutuhan hidup-pekerjaan rakyat kecil di wilayah pertambangan.

“Mereka ingin terlibat bukan sekadar menjadi penonton di daerahnya sendiri yang berlimpah hasil tambang. Ada juga aktor PETI yang bersifat korporasi,” kata Mulyanto di Jakarta, Selasa (9/8).

Karena pekerja di lokasi PETI tidak terdidik-terlatih, dengan alat dan modal terbatas, muncul masalah keselamatan kerja dan lingkungan. “Kegiatan mereka juga tidak berizin sehingga tidak memberikan pemasukan pada kas negara,” tukas Mulyanto.

Dia menegaskan harus ada pendekatan berbeda antara PETI perorangan dan PETI korporasi. “PETI korporasi ditindak tegas secara hukum, agar ada efek jera,” kata Mulyanto.

Untuk PETI perorangan, perlu pendekatan sosial, budaya, dan pembinaan teknis. Pendekatannya lebih edukatif-kultural, ketimbang pendekatan legal.

Menurut Mulyanto, kemudahan perizinan dan regulasi, pembinaan, edukasi, bimbingan teknis dan lainnya yang bersifat pengayoman menjadi penting, agar PETI bisa bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi rakyat.

“Ketimbang memenjarakan aktor PETI, lebih bermartabat kalau kita mengentaskan mereka menjadi penambang terlatih. Kelembagaan seperti kelompok tambang, koperasi, dll. Malah mungkin dibutuhkan dalam rangka pembinaan PETI ini,” ungkap dia.

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM sebelumnya menyatakan, hingga kuartal III 2021 PETI mencapai 2.700 lokasi. Sebanyak 2.645 lokasi PETI Mineeral dan 96 lokasi PETI batubara. Aktivitas PETI terbanyak berada di Sumatera Selatan.

Sunindyo Suryo Herdadi, Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Ditjen MInerba Kementerian ESDM, sebelumnya mengatakan PETI terus menjadi perhatian pemerintah. “Diperlukan upaya bersama dan dukungan seluruh pihak untuk mendorong penanganan isu PETI beserta dampak yang ditimbulkan,” ujar Sunindyo.

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) bahkan menyebutkan para pelaku usaha tambang batu bara tidak pernah berhenti melaporkan PETI kepada pemerintah. APBI mendukung segenap upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengatasi maraknya aktifitas PETI.

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif APBI, mengatakan sejak isu PETI merebak lebih dari 10 lalu, Asosiasi senantiasa berkoordinasi dengan Pemerintah menyampaikan data-data dan memfasilitasi upaya penegakan hukum untuk memberantas aktifitas tanpa izin tersebut.

“Masing-masing perusahaan tentu punya upaya-upaya internal untuk meminimalkan dampak PETI dan juga melakukan koordinasi dengan aparat penegakan hukum,” katanya.

Jika melihat pola praktik selama ini, lanjut Hendra, PETI bukan tidak mungkin PETI dicegah. Tinggal menunggu momen pergerakan harga komoditas batu bara. “Intinya adalah penegakan hukum. Aktivitas yang tidak bertanggung jawab tersebut kerap terjadi jika ada lonjakan harga komoditas. Perusahaan anggota APBI juga senantiasa berkoordinasi dengan Kementerian ESDM melaporkan aktifitas tersebut,” kata Hendra. (RI)