JAKARTA – Pemerintah dinilai tidak serius melakukan transisi energi sebagai bagian dari mengatasi krisis iklim. Hal ini terlihat dari road map pengelolaan energi transisi yang dibacakan Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia di KTT PBB Iklim (UN Climate Action Summit) di New York, USA Senin (23/9).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, mengatakan tidak ada yang baru dalam pidato wakil presiden, khususnya, dalam isu energi yang terkait dengan aksi mitigasi perubahan iklim. Selain itu, sebagian besar dari paparan telah dijelaskan dalam beberapa forum internasional seperti Osaka G20 Summit and Abu Dhabi Climate Meeting.

Jusuf Kalla menyebut tentang Low Carbon Development Initiative yang diluncurkan Bappenas awal 2019. Ada dua tindakan dalam aksi mitigasi tersebut. Pertama, solusi berbasis alam yang mencakup mengembalikan dua juta hektare lahan gambut dan merehabilitasi 12 juta hektare lahan kritis pada 2030. Serta melestarikan dan memulihkan hutan bakau dan pesisir.

Kedua, transisi energi berfokus pada penghapusan subsidi bahan bakar fosil, kebijakan mandatori biodiesel dan pengembangan kilang bahan bakar nabati.

Menurut Fabby, apa yang disampaikan wakil presiden menunjukkan bahwa Indonesia belum siap meningkatkan ambisinya dalam mengatasi krisis iklim. Upaya Indonesia saat ini dalam menanggulangi krisis iklim hanya didasarkan pada komitmen yang tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia yang disampaikan pada 2016.

Ada tiga aksi mitigasi yang seharusnya dilakukan segera oleh pemerintah, jika ingin dianggap serius mengelola transisi energi yang berdampak terhadap lingkungan.

“Untuk Indonesia, kami merekomendasikan tiga aksi: transisi batu bara, efisiensi energi, dan moratorium pembukaan hutan secara permanen,” kata Fabby, Kamis (26/9).

Komitmen Indonesia untuk melakukan transisi energi terbilang sangat lemah. Meskipun pemerintah telah berusaha mengurangi subsidi bahan bakar fosil,  jumlah subsidi setiap tahunnya masih tinggi, baik untuk listrik maupun bahan bakar.

Selain itu sejak 2018, pemerintah memperkenalkan DMO untuk batas harga batu bara yang secara harfiah mensubsidi penggunaan batu bara PLN.

“Apabila pemerintah serius dalam meningkatkan ambisi iklimnya, subsidi bahan bakar (listrik, BBM, batubara) harus dialihkan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan sebagai contoh menyediakan cicilan suku bunga rendah untuk kredit panel atap surya atau mendukung pertumbuhan industri pembangunan terbarukan lokal,” ujar Fabby dalam keterangan tertulisnya.

Dalam aspek biodiesel, pendekatan ini hanya memiliki efek yang terbatas pada penurunan emisi karena hanya mengganti 4 hingga 6 juta kilo liter diesel. Implementasi di luar B30 masih belum dapat dipastikan dari aspek teknisnya walaupun pemerintah memiliki target yang ambisius untuk menerapkan B30 pada tahun 2025.

Selain itu, pengembangan kilang minyak nabati sebagai salah satu jalan melakukan transisi energi, yang telah disebutkan beberapa kali oleh pemerintah, sebenarnya masih perlu waktu untuk dikembangkan dan masih ada ketidakpastian penetapan harga bahan bakar untuk biofuel di masa depan. Meskipun demikian, aspek keberlanjutan dan jejak karbon yang menentukan emisi bersih dari produk biofuel adalah faktor penting untuk menentukan apakah peningkatan penggunaan biofuel merupakan solusi yang efektif untuk iklim.

“Secara keseluruhan, komitmen Indonesia pada aksi iklim dinilai kurang ambisius. Kami yakin bahwa Indonesia dapat berbuat lebih banyak di bidang reformasi subsidi bahan bakar fosil, pengembangan energi terbarukan dalam listrik dan bahan bakar terbarukan di sektor transportasi, dan melakukan perencanaan untuk beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara,” kata Fabby.(RI)