Indonesia diprediksikan memiliki potensi energi panas bumi mencapai  24 Giga Watt (GW). Saat ini, pengembangan panas bumi nasional baru 30%.(Foto/Dok/Dunia-Energi)

JAKARTA – Pemerintah diminta terus fokus pada pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), khususnya di sektor panas bumi dan bioenergi. Apabila kedua sektor EBT itu terus berkembang, maka target capaian bauran energi dimungkinkan bisa terealisasi.

“Pemerintah cukup konsentrasi penuh di biodiesel untuk bahan bakar, lalu panas bumi, biomass, hydro untuk kelistrikan,” kata Andhika Prastawa, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Andhika, untuk EBT yang memungkinkan memiliki kapasitas besar adalah energi panas bumi. Indonesia diprediksikan memiliki potensi energi panas bumi mencapai  24 Giga Watt (GW). Saat ini, pengembangan panas bumi nasional baru 30%.

Sektor EBT lainnya adalah bioenergi, termasuk biomass sampah. Biomass sampah memerlukan cakupan yang banyak untuk menghasilkan kapasitas daya listrik besar.

Tidak hanya itu, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) juga perlu mendapat perhatian pemerintah.

“Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memerlukan sumber yang  besar. Kalau run of river itu paling 10 Mega Watt (MW), kalau ratusan MW harus dengan bendungan dan tentunya impactnya bukan hanya masalah teknis tapi juga sosial, lingkungan hidup, mengubah topologi dari semula hutan menjadi lingkungan air,” ungkap Andhika.

Dia menambahkan, mengubah topologi dari semula hutan menjadi bendungan  pada dasarnya tidak menjadi masalah. Namun, tetap ada tantangan sendiri.

Sektor EBT lainnya, barulah tenaga surya, angin.

Menurut Andhika, pengembangan energi baru terbarukan bukanlah langkah utama dalam mengurangi emisi karbon. EBT adalah salah satu upaya efektif untuk mengurangi emisi karbon. Emisi karbon dari sektor energi tidak sepenuhnya berasal dari pembangkit listrik, bisa juga dari bahan bakar kendaraan bermotor.

Dia menjelaskan, emisi karbon Indonesia dari sektor energi masih kurang dari 40%, sisanya dari pengubahan penggunaan tanah, deforestasi. Ini yang menyumbang emisi karbon yang cukup besar.

“Artinya begini, boleh kita gusar adanya emisi karbon dari sektor energi, tapi kalau diklaim emisi karbon kita tinggi itu tidak semata-mata dari energi. Karena, bagaimanapun untuk mengejar industrialisasi memang EBT dan non EBT tetap harus berdampingan,” tandas Andhika.(RA)