JAKARTA – Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap masih menemui hambatan. Meski demikian, dari sekian jenis energi baru terbarukan (EBT), PLTS cenderung paling mudah untuk diimplementasikan.

“Kontribusinya kecil, tapi teknis pelaksananaanya paling mudah melalui PLTS,” kata Andhika Prastawa, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) di Jakarta, Kamis (14/2).

Menurut Andhika, dalam target bauran EBT 23% pada 2025, PLTS tidak dicadangkan terlalu besar. Kontribusi PLTS hanya direncanakan 6.000 megawatt (MW).

“Sekarang 100 megawatt (MW) saja belum. Dari 6.000 MW, baru 100 MW kurang sedikit. Jadi masih butuh 5.900 MW dalam jangka waktu 2019-2025, enam tahun ke depan. Ini sulit sekali,” ujar Andhika.

Oleh karenanya, kata dia, AESI terus berupaya membantu pemerintah dengan menggali sumber-sumber pendanaan dari non pemerintah untuk memudahkan implementasi PLTS.

Menurut Andhika, hal inilah yang mendorong dikeluarkannya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero). Namun, ada beberapa hal yang perlu disempurnakan, antara lain masalah perizinan yang dirasakan masih memberatkan.

Andhika mengatakan, aturan PLN sebelumnya menyebutkan pencatatan dilakukan setelah dilakukan pemasangan PLTS. Namun, di Permen 49/2018 justru sebaliknya, konsumen harus mendapatkan izin terlebih dahulu sebelum melakukan pemasangan.

“Persoalan lainnya adalah adanya ketentuan capacity charge bagi industri. Harus membayar suatu jumlah tertentu sebesar kapasitas fotovoltaik yang dipasang, ini kan mengurangi keekonomian dari fotovoltaik itu sendiri,” ungkapnya.

Andhika menekankan agar pemerintah tetap mengutamakan kemudahan-kemudahan bagi pengguna PLTS. “Pasang PLTS mahal, pemerintah seharusnya bisa membuat murah. Sudah mahal, lalu diberi persyaratan yang berbelit dan menunggu waktu lama,” tandas Andhika.(RA)