Blok Mahakam

Blok Mahakam.

JAKARTA – Ratusan tokoh, pakar, dan aktivis mahasiswa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang tergabung dalam “Petisi: Blok Mahakam Untuk Rakyat” mendesak pemerintah memutuskan status kontrak salah satu lapangan gas terbesar di Indonesia itu, paling lambat 31 Desember 2012.

Para tokoh dan lembaga yang tergabung dalam petisi itu diantaranya  Chandra Tirta Wijaya (DPR RI), Marwan Batubara (IRESS), Prof Sri Edi Swasono (Guru Besar UI), Dr Hendri Saparini (Econit), Dr Pri Agung Rakhmanto (ReforMiner), Dr Fadil Hasan (Indef), Dr Iman Sugema (InterCafe), Fuadul Aufa (PB HMI), Prof Dr Bintang Pamungkas, Jusuf Rizal, (LIRA), dan ratusan tokoh lainnya.

Mereka mengirimkan Petisi: Blok Mahakam Untuk Rakyat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kamis, 11 Oktober 2012, yang berisi delapan butir tuntutan. Yaitu yang pertama, segera memutuskan status kontrak blok Mahakam melalui penerbitan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri secara terbuka paling lambat 31 Desember 2012.

Kedua, menunjuk dan mendukung penuh Pertamina sebagai operator blok Mahakam sejak April 2017, atau sejak habisnya masa kontrak operator lama, yakni Total E&P Indonesie dan Inpex Petroleum, atas blok tersebut.

Ketiga, menolak berbagai upaya dan tekanan pihak asing, termasuk tawaran kerjasama ekonomi, beasiswa dan komitmen investasi migas dari operator lama Blok Mahakam, guna memperoleh perpanjangan kontrak.

Keempat, menjamin pemilikan 10% saham Blok Mahakam oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) baik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur maupun Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, yang pelaksanaannya dikordinasikan dan dijamin oleh Pemerintah Pusat bersama Pertamina, tanpa partisipasi atau kerjasama dengan swasta.

Kelima, meminta kepada Total E&P dan Inpex untuk memberikan sekitar 20% saham Blok Mahakam kepada Pertamina sejak Januari 2013 hingga 2017, dengan kompensasi (bagi Total dan Inpex) pemilikan sekitar 20% saham Blok Mahakam sejak 2017 hingga 2037.

Keenam, membebaskan keputusan kontrak Blok Mahakam dari perburuan rente dan upaya meraih dukungan politik dan logistik, guna memenangkan Pemilu maupun Pemilihan Presiden 2014.

Ketujuh, mengikis habis  pejabat-pejabat pemerintah yang telah menjadi kaki-tangan asing dengan berbagai cara, antara lain yang dengan sengaja atau tidak sengaja atau secara langsung atau tidak langsung  telah memanipulasi informasi, melakukan kebohongan publik, melecehkan kemampuan sumber daya manusia dan perusahaan negara serta merendahkan martabat bangsa.

Delapan, mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terlibat aktif mengawasi proses penyelesaian status kontrak Blok Mahakam secara menyeluruh, termasuk kontrak-kontrak sumber daya alam lainnya.

“Delapan tuntutan petisi ini merupakan syarat, agar  kemandirian dan ketahanan energi nasional dapat dicapai, sehingga pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi Indonesia dapat berjalan sesuai amanat UUD 1945,” ungkap Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara selaku juru bicara Petisi: Blok Mahakam Untuk Rakyat.

Ia menambahkan, petisi ini dibuat karena pemerintah tidak kunjung memutuskan status kontrak Blok Mahakam yang akan habis pada 2017. Padahal baik Total E&P dan Inpex maupun Pertamina, sudah menyampaikan minat dan kesanggupannya untuk mengelola blok itu sejak jauh-jauh hari.

Sementara menurut aturan yang berlaku, demi menjaga kelangsungan investasi dan konsistensi produksi blok migas yang akan habis kontrak, keputusan memperpanjang atau tidak memperpanjang kontrak lama, bisa dikeluarkan 10 tahun sebelum masa kontrak habis.

Hal yang paling mengkhawatirkan, kata Marwan, sejumlah pejabat yang berwenang telah mengeluarkan pernyataan, yang seolah meragukan kemampuan Pertamina mengelola blok itu. Sebaliknya, pernyataan mereka cenderung berpihak ke perusahaan asing, yakni Total E&P dan Inpex, untuk mendapatkan perpanjangan kontrak di Blok Mahakam.

(Abdul Hamid / duniaenergi@yahoo.co.id)