JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mewajibkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk menggarap potensi Migas Non Konvensional (MNK) di wilayah kerja para kontraktor. Minimal harus dibuktikan layak tidaknya untuk dimonetisasi secara keekonomian.

Keharusan itu akan dituangkan dalam aturan baru yang kini sedang digodok oleh pemerintah.

Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian ESDM, memaparkan KKKS yang di WK migasnya teridentifikasi mengandung MNK, wajib melakukan studi. Apabila hasil studi menunjukkan potensi MNK besar, maka harus dikembangkan. “Kalau potensinya (MNK) besar, harus dikembangkan. Studi wajib dilakukan untuk menentukan besaran potensinya,” kata Tutuka, Jumat (2/4).

Aturan baru yang diharapkan dapat meningkatkan pengembangan MNK ini, telah disosialisasikan kepada KKKS. Sebagian besar KKKS menyambut positif rencana ini, namun ada juga yang sebaliknya.

“Sambutan dari KKKS, ada yang mengatakan bagus, ada sebagian kecil tidak positif. Tapi kebanyakan positif. Ini kan sudah kajian lama dari kelompok yang menggabungkan migas konvensional dan non konvensional,” ujar Tutuka.

Menurut Tutuka MNK di tanah air susah berkembang karena adanya ketentuan yang memberatkan dimana kontraktor harus mengurus kontrak baru jika di wilayah kerja konvensional yang dikelolanya ditemukan potensi non konvensional.

“Sudah lama dikaji, kenapa MNK tidak berkembang. Salah satu masalahnya, kalau ketemu MNK, dia tidak bisa ngebor (karena harus ada WK baru). Akhirnya berhenti (mengebor). Sekarang harapannya kalau dia (mengelola MNK) pakai WK dengan aturan baru tersebut, bisa sekaligus mengusahakannya,” ujar Tutuka.

Pemerintah bertekad mengembangkan MNK sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi migas. MNK di Indonesia baru dikembangkan pada tahun 2008 dengan penandatanganan WK Sekayu. Salah satu jenis MNK yang akan dikembangkan Pemerintah ke depan adalah shale oil karena Indonesia masih memerlukan minyak dalam jumlah besar

Menurut Tutuka aturan ini bertujuan kalau ada KKKS yang mengusahakan WK konvensional, kemudian kontraktor melakukan kajian lebih dalam lagi dan menemukan non konvensional hidrokarbon seperti shale oil atau shale gas, maka KKKS bisa langsung mengupayakan (kelola). “Tidak harus ada WK baru, seperti pada aturan sebelumnya,” ungkap Tutuka.

Dalam aturan sebelumnya, KKKS memang tidak diperbolehkan mengelola WK migas konvensional dan MNK sekaligus. Untuk masing-masing kegiatan tersebut, harus memiliki WK tersendiri.

Sementara untuk kontrak yang digunakan, tetap menggunakan kontrak sebelumnya, namun akan dilakukan amendemen. Untuk split atau bagi hasil MNK, besarannya juga bisa berbeda dengan kontrak migas konvensional.

“Dulu tidak boleh dalam WK yang sama, ada migas non konvensional dan non konvensional. Jadi WK konvensional tersendiri, non konvensional tersendiri. Sekarang, satu WK bisa mengupayakan dua jenis sekaligus,” kata Tutuka.(RI)