JAKARTA – Pemerintah diminta konsisten dengan rencana pembatasan pembangunan smelter kelas 2 (penghasil FeNi dan NPI) dan ekspor FeNi dan NPI. Pemerintah harus waspada dan hati-hati jangan sampai rencana tersebut berubah-ubah di tengah jalan, karena adanya desakan dari pihak tertentu.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, menilai terealisasinya rencana pembatasan pembangunan smelter kelas 2 ini penting untuk meningkatkan nilai tambah produk smelter sebelum diekspor ke luar negeri. “Pembatasan ini diperlukan karena persoalan nilai tambah yang rendah untuk ekspor produk smelter kelas 2, yakni FeNi dan NPI,” ujar Mulyanto, Rabu (23/6).

Saat ini harga jual FeNi diperkirakan hanya US$15.500/t-Ni, Ni Matte US$14.000/t-Ni dan Ni Sulfate US$20.500/t-Ni.

Menurut Mulyanto, yang harus didorong adalah ekspor stainles steel atau minimal nikel sulfat. Jadi, nilai tambah yang diperoleh meningkat. “Sebab selisih nilai tambahnya cukup lumayan,” katanya.

Selain untuk meningkatkan nilai tambah, pembatasan ini juga perlu dilakukan karena ketebatasan atau ketahanan cadangan bijih saprolit yang rendah.

“Jadi harus dieman-eman dengan mengekspor hanya produk yang bernilai tambah tinggi, karena cadangan bijih saprodit nikel ini kan terbatas,” ungkap dia.

Ke depan, pemerintah perlu memperkuat industri nikel dengan sejumlah pendekatan. Di antaranya melalui peningkatan ketahanan cadangan dan optimalisasi produksi bahan baku industri, peningkatan optimalisasi dan efisiensi industri pengolahan dan pemurnian.

Selain itu, perlu juga dilakukan pengembangan industri fabrikasi manufaktur dan peningkatan TKDN. Apalagi sekarang Kementerian Perindustrian sudah menjadi mitra Komisi VII DPR, sehingga pembahasan hilirisasi seharusnya bisa berjalan lebih baik.

“Saya setuju program ini, karena dengan program ini kita benar-benar bergerak semakin ke hilir. Untuk itu peran aktif kementerian perindustrian harus didorong,” kata Mulyanto.(RI)