JAKARTA – Pembangunan Floating Photovoltaic Solar Power Plant atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung dengan kapasitas 200 megawatt di Waduk Cirata terkendala pembahasan harga listrik yang akan dibeli PT PLN (Persero). Padahal PLN manargetkan penandatanganan power purchase agreement (PPA) harus dilakukan pada tahun ini, jika pembangunan PLTS terbesar di Indonesia tersebut akan dibangun sesuai jadwal.

Djoko Rahardjo Abu Manan, Direktur Regional Bisnis PLN Jawa bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara, mengungkapkan harga yang ditawarkan pengembang masih diatas US$ 6 sen per kWh. Saat ini negosiasi masih berlangsung agar harga jual listrik tidak lebih dari harga yang disodorkan pengembang.

“Kami minta turun lagi. Kami mau di bawah US$ 6 sen per kWh,” kata Djoko ditemui disela acara buka puasa bersama PLN dengan 3300 anak yatim piatu dan duafa di Jakarta, Rabu (6/6).

Selain negosiasi masalah harga, PLN juga meminta pengembang PLTS Cirata untuk mengevaluasi skema pembangunan PLTS yang harus disesuaikan dengan kondisi sistem milik PLN.

Djoko mengatakan karena PLTS tergolong pembangkit listrik intermiten, yang tidak stabil dalam menghasilkan energi listrik, maka perlu ada treatment khusus untuk bisa memasukannya dalam sistem dan jaringan listrik PLN.

“Kami berunding tidak langsung 200 MW, 125 MW dulu lah karena sistem PLTS,” ungkap dia.

Menururt Djoko, sebagai pembangkit intermiten maka PLTS Cirata harus memiliki pendamping. Sehingga jika malam hari ketika tidak ada sinar matahari, pembangkit pendamping yang akan mensuplai listrik yang hilang dari PLTS.

Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata sudah disiapkan untuk menjadi pendamping dari PLTS.

“Intermiten itu angin matahari kan berenti-berhenti kan repot, kalau pelanggan itu mati mau tidak? Maka itu harus didampingi sama must run seperti pembangkit hydro, geothermal,” ungkap dia.

Syofvi Roekman, Direktur Perencanaan PLN, mengatakan untuk masalah harga jadi poin utama yang masih menjadi ganjalan karena PLN punya ketentuan harga beli listrik dari pembangkit tidak boleh melampaui Biaya Pokok Penyedia (BPP) Pembangkit. Untuk saat ini BPP Pembangkitan di wilayah Jawa Barat dipatok US$ 6,81 per kWh.

“Kalau lebih dari itu (BPP) saya tidak akan dikasih izin bangun sama pak Menteri, (ESDM) ” ungkap Dia.

PLTS terapung Cirata sendiri akan dibangun melalui kerja sama antara PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) dengan Masdar, anak usaha Mubadala asal Uni Emirat Arab yang fokus bergerak di sektor Energi Baru Terbarukan (EBT).

PLTS terapung pertama di Indonesia dengan kapasitas 200 MW ini diperkirakan menelan investasi US$300 juta. PJB bersama Masdar nantinya membentuk perusahaan patungan (Joint Venture/JV) dengan kepemilikan saham dominan oleh PJB, yakni 51% dan Masdar sisanya 49%.

Untuk pendanaan proyek PLTS terapung akan melalui skema project financing sebesar 30% dan sisanya akan dipenuhi melalui pendanaan perusahaan.

Syofvi menegaskan PLTS Cirata ditargetkan rampung keseluruhan dimedio 2021 hingga 2022. Untuk bisa mengejar target tersebut maka konstruksi paling lambat harus dilakukan pada 2019. “Mareka bangun 24 bulan ya, besar kan sekitar 100 MW floating,” tandas Syofvi.(RI)