JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah melakukan uji teknis Biosolar yang dicampur biodiesel 40% (B40). Uji teknis kali ini mulai memasuki babak baru karena selain dilakukan selama 1.000 jam pada engine test bench, uji teknis juga menggunakan dua formulasi B40. Ini merupakan inisiatif terbaru yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian ESDM untuk menjawab tantangan penggunaan biodiesel.

Formulasi yang pertama adalah B40, yakni campuran 60% solar dengan 40% Fatty Acid Methyl Esther (FAME). Ini jadi formula standar yang digunakan juga pada pelaksanaan B30 lalu. Formulasi yang kedua adalah campuran 60% solar dengan 30% FAME dan 10% Distillated Fatty Acid Methyl Esther (DPME). Ini yang jadi pembeda dalam program biodiesel kali ini.

Sylvia Ayu Bethari, Ketua Tim Pengkajian B40, menjelaskan metode uji ketahanan yang digunakan sudah mendapat persetujuan bersama dari Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) dan Ikabi (Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia) dan para stakeholder lainnya.

“Saat ini yang sedang dilakukan adalah uji ketahanan untuk dua engine, engine yang pertama menggunakan sample bahan bakar B40, sekarang sudah 370 jam. Sedangkan untuk engine kedua formulasi B30 dengan DPME 10% sudah 615 jam,” kata Sylvia di lab Balitbang, Jakarta (26/8).

Adapun pengujian dua formulasi ini merupakan bagian dari 14 usulan setelah dilakukan serangkaian kegiatan uji B40 seperti uji karakteristik fisika-kimia formulasi bahan bakar B40 dan uji kinerja terbatas formulasi bahan bakar B40. Selain itu telah dilakukan pula evaluasi terhadap karakteristik fisika-kimia formulasi bahan bakar B40.

Formula terbaru dengan mencampur DPME sejauh ini menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kadar air yang selama ini menjadi masalah tersendiri dalam penggunaan biodiesel ternyata bisa ditekan. DPME sendiri adalah biodiesel yang diolah lebih lanjut sehingga kadar kemurniannya jauh lebih baik.

Dari hasil pengujian ditemukan fakta dimana kandungan air pada formula B30+DMPE10 lebih baik ketimbang B40, bahkan lebih baik ketimbang B30. Kadar air pada campuran B30 dan DPME10 tercatat sebesar 166,3 ppm. Sementara untuk B40 kandungan air mencapai 194,4 ppm dan kandungan air pada B30 189,4 ppm.

Selain itu energi yang dihasilkan dengan penggunaan campuarn DPME 10% juga lebih baik karen mampu menghasilkan energi 43,16 MJ/Kg. Sementara jika hanya B40 menghasilkan energi 42,65 MJ/Kg.

Kemudian bilangan asam total yang dihasilkan dari campuarn B30 dan DPME10 juga lebih kecil. Bilangan Asam total ini berhubungan dengan korosi mesin. Jadi jika nilai bilangan asam total makin rendah maka semakin kecil pengaruh biodiesel terhadap korosi mesin.

Nilai bilangan asam total untuk formula B40 + DPME10 adalah 0,1 mg KOH/gr. Sementara untuk B40 0,19 mg KOH/gr dan untuk nilai B30 adalah 0,14 mg KOH/gr.

“Biodiesel ini alaminya memang suka air, itu kan jadi kontaminan. Untuk menahan kadar air ini ditambahkan DPME. Ini adalah B100 atau biodiesel yang dideskalasi ulang yang kadar airnya lebih rendah. Penambahan DPME ini bisa perbaiki kualitas campuran B40,” jelas Sylvia.

Setelah uji ketahanan 1.000 jam selesai, tim Kajian B40 akan melakukan persiapan dan pelaksanaan uji presipitasi dan stabilitas penyimpanan. Usai seluruh tahapan kegiatan uji selesai, akan melakukan evaluasi, pelaporan, dan penyusunan rekomendasi terkait hasil kajian penerapan B40 pada akhir tahun nanti.

“Pada November nanti ditargetkan seluruh kegiatan pengujian selesai, kemudian pada Desember ada rekomendasi teknisnya,” kata Sylvia.

Dengan hasil uji ini tentu tidak berlebihan jika mimpi untuk menggunakan bahan nabati sebagai bahan bahan bakar masa depan di Indonesia. Perjalanan biodiesel di tanah air sendiri sebenarnya bukanlah perjalanan singkat. Mimpi untuk menggerakan mesin tanpa menggunakan tenaga fosil sudah dimulai sejak tahun 2008 dimulai dengan campuran sebanyak 2,5% atau B2,5. Lalu ditingkatkan jadi B7,5 dua tahun kemudian. Penggunaan biodiesel kembali dilanjutkan pada tahun 2014 dengan campuran 10% atau B10. Kemudian pada tahun 2015 ditingkatkan penggunaan menjadi B15.

Hanya berjarak satu tahun biodiesel kembali ditingkatkan menjadi B20. Ini pun dengan didukung oleh dana insentif Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hanya untuk sektor Public Service Obligation (PSO). Dua tahun kemudian yakni pada tahun 2018 penggunaan biodiesel diperluas ke sektor Non PSO tepatnya sejak 1 September 2018.

Pada tahun 2019 rencana peningkatan penggunaan biodiesel dimulai dengan dilakukan uji jalan, uji terap program B30 atau campuran solar dan biodiesel 30%. Baru kemudian pada 1 Januari tahun 2020 program B30 diimplementasikan. Bersamaan dengan itu kajian B40 dan B50 juga dimulai.

Pemerintah memang menargetkan adanya peningkatan penggunaan biodiesel secara nasional. Ini dikejar untuk mengurani penggunaan bahan baka fosil atau solar yang bahannya berupa minyak mentah harus didatangkan atau impor dari luar negeri.

Dalam data Kementerian ESDM, Secara bertahap penggunaan biodiesel memang menunjukkan peningkatan. Dalam lima tahun sejak 2015 saat itu penggunaan hanya 1,62 juta kilo liter (KL). Tapi meningkat tajam tahun 2016 menjadi 3,65 juta KL lalu sempat turun pada tahun 2017 menjadi hanya 3,41 juta KL. Namun peningkatan signifikan biodiesel terjadi pada tahun 2018 yakni 6,16 juta KL seiring dengan dimulainya program B20. Lalu pada tahun 2019 realisasi penggunaan biodiesel justru jauh diatas target 7,37 juta KL. Tahun lalu konsumsi biodiesel bisa mencapai 8,37 juta KL. Pada tahun 2020 konsumsi biodiesel sendiir ditargetkan mencapai 10 juta KL.

Dadan Kusdiana Kepala Balitbang ESDM menuturkan kajian penerapan B40 akan selesai di akhir tahun 2020. Nantinya akan dilakukan lagi pembicaraan dengan para pemangku kepentingan terutama Gaikindo untuk perlaksaaan uji jalan. Semula uji jalan memnag sudah dijadwalkan namun karena adanya pandemi covid-19 rencan tersebut tidak dijadikan sebagai prioritas.

“Kita lihat perkembangannya bagaimana kondisi covid ini. Karena memang kalau dari sisi teknis kita sih percaya tapi dari sis sosialisasi uji jalan memang penting, untuk pomosilah kalau ini barang (B40) bisa jalan,” kata Dadan.

Umar Santoso, Sekretaris Eksekutif Organisasi Angkutan Darat (Organda), menyambut baik inisiatif untuk tingkatkan kualitas biodiesel. “Kalau konsisten dengan penguranan kadar air di Crude Palm Oil atau CPO (biodiesel) ya bagus. Dengan kondisi B30 ini saja kami sudah mendukung pelaksanannya,” ujar Umar kepada Dunia Energi.

Menurutnya tidak ada yang salah dengan penggunaan biodiesel yang dicampur dengan solar. Sinergi antar seluruh stakeholder lah yang harus ditingkatkan agar program B40 nantinya bisa berjalan dengan lebih baik.

“Harus ada integrasi dari semua pihak, mulai dari pembuat mesin, pabrikan, dilihat mesinnya masuknya CPO seperti apa. Kami kan pemakai, selama itu tersedia (B40) dengan baik ayo kita pakai,” kata Umar. (RI)