JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mematok target pengembangan panas bumi akan mencapai 2.270,7 megawatt (MW) pada akhir 2021. Selanjutnya pada 2025 kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) ditargetkan terus naik menjadi 3.576 MW pada 2025. Kemudian pada 2030 meningkat menjadi 7.780 MW dan menjadi 9.300 MW pada 2035.

Namun,  untuk mencapai target tersebut tidaklah mudah karena selama ini ada persoalam mendasar yang membuat panas bumi tidak optimal dimanfaatkan.

Prijandaru Effendi, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), mengatakan pengembangan panas bumi nasional selama ini mengalami stagnansi atau jalan di tempat lantaran terkendala masalah harga jual listrik ke PLN sebagai satu-satunya penyerap listrik panas bumi. Para pengembang berharap bisa menjual listrik ke PLN dengan harga sesuai keekonomian proyek. Tapi itu sulit terjadi karena PLN juga tidak bisa membeli listrik dengan harga tinggi karena nantinya listrik yang dijual ke masyarakat juga sudah ditetapkan pemerintah.

Adanya gap atau disparitas inilah yang menjadi hambatan fundamental terhadap proyek-proyek panas bumi di Tanah Air. “Disparitas ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah harus hadir untuk menjembatani disparitas harga ini,” kata Prijandaru, dalam diskusi di CNBC TV Indonesia, Senin (1/3).

Pemerintah pernah mencoba menutup disparitas harga ini dengan mengucurkan subsidi. Saat ini, pemerintah hanya bisa menawarkan insentif untuk mengurangi biaya pengembang. Bagi para pengembang, insentif yang diberikan tidak selalu bisa membuat pengembang mencapai keekonomian proyek.

“Kalau tidak ada terobosan luar biasa, kita akan begini terus. Ini sayang karena kita ada cadangan besar tetapi tidak mampu menggunakannya karena masalah harga,” ungkap Prijandaru.

Menurut Prijandaru, eksplorasi panas bumi di awal proyek yang membutuhkan biaya yang besar membuat pengembang kesulitan. Apalagi, tingkat kegagalan eksplorasi mencapai 50 persen.

“Kami terus mencari terobosan untuk turunkan cost dan risiko sehingga bisa menekan harga, dan ini belum berhasil, karena disparitas harga masih terjadi,” kata dia.

Satya W Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menyatakan pengeboran eksplorasi panas bumi yang dilakukan pemerintah bisa menjadi jalan tengah, sehingga pengembang tidak harus menanggung biayanya. Selain itu, ada juga usulan untuk mengubah skema kontrak panas bumi menjadi seperti di sektor migas, atau kontrak bagi hasil cost recovery.

“Apakah cara-cara itu bisa men-drive pengembangan panas bumi menjadi lebih efisien. Ini menjadi masukan yang akan kami olah untuk membuat kebijakan di kemudian hari,” kata Satya.(RI)