INDONESIA memiliki target Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% di bauran energi nasional pada 2025. Kebijakan yang dipadukan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29% pada 2030 merupakan upaya jelas menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan.

Berbagai program akselerasi pengembangan EBT terus digalakkan guna mengejar target bauran energi sebesar 23% pada 2025.

Energi panas bumi merupakan salah satu tulang punggung penyediaan energi nasional di masa mendatang dengan potensi lebih dari 23 Gigawatt (GW). Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan pengembangan Energi panas bumi sekitar 7.241,5 Megawatt (MW). Namun, kapasitas terpasang panas bumi saat ini hanya 8% dari total potensi, yakni 2,13 GW.

“Dibutuhkan sinergi dan gotong royong dari seluruh pemangku kepentingan di pusat dan daerah, pelaku bisnis, intrapreneur, akademisi dan masyarakat sebagai penerima manfaat untuk mengejar target pengembangan panas bumi di Indonesia,” ungkap Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat menjadi keynote speaker dalam Digital Indonesia International Geothermal Convention (DIGGC) 2020 yang diselenggarakan secara virtual.

Menurut Arifin, aspek keamanan ekonomi, pendanaan proyek pemerintah dan aspek sosial yang dihadapi pengembang panas bumi di seluruh Indonesia relatif beresiko tinggi. Tidak hanya dibandingkan dengan industri panas bumi di negara lain, tetapi juga dibandingkan dengan pengembangan energi terbarukan dalam negeri lainnya. Hal tersebut biasanya mempengaruhi tingkat daya saing industri panas bumi untuk mempercepat pengembangan panas bumi.

Menurut Arifin, beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi tantangan tersebut, antara lain penerbitan regulasi baru untuk memberikan berbagai peluang pengembangan panas bumi, mendorong pengembang melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, serta mendorong pemerintah daerah mengoptimalkan penggunaan pendapatan daerah dari bonus produksi untuk pengembangan masyarakat di sekitar wilayah proyek.

Pemerintah juga tengah mendorong pembangunan daerah melalui Program Pulau Panas Bumi Flores guna memenuhi kebutuhan elektrifikasi Pulau Flores melalui pemanfaatan energi panas bumi. Program ini juga bertujuan untuk menduplikasi program di daerah lain setelah berjalan dengan baik untuk mendorong investasi. Pemerintah juga telah memperkenalkan skema pengembangan potensi melalui pemboran pemerintah, dimana kegiatan eksplorasi dilakukan oleh pemerintah.

“Sedang disiapkan kebijakan untuk mengatur ulang harga energi terbarukan guna meningkatkan investasi di bidang energi terbarukan, termasuk pembangunan pemerintah,” ujar Arifin.

Pemerintah terus berupaya melaksanakan berbagai program percepatan pengembangan EBT agar target 23% EBT pada bauran energi nasional tahun 2025 tercapai. Beberapa program yang dilakukan pemerintah antara lain pengembangan pembangkit listrik EBT dan Bahan Bakar Nabati (BBN), pengembangan panas bumi melalui government drilling, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar, program PLTS Atap, dan program cofiring biomassa pada PLTU.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan dibutuhkan peningkatan target pemanfaatan EBT sekitar 10-11% setiap tahunnya agar dapat tercapai 23% pada 2025, dengan beberapa asumsi khususnya peningkatan pengembangan PLTS karena proyeknya cukup banyak dikembangkan oleh stakeholder untuk pemanfaatan sendiri.

“Sekarang kami sedang menyiapkan Perpres dari harga pembangkit EBT, kami akan dorong pengembangan pusat ekonomi baru, baik melalui PLTS ataupun panas bumi, kemudian PLTS skala besar dan cofiring,” kata Dadan.

Selain itu, sesuai dengan persetujuan dari Komisi VII DPR RI, Kementerian ESDM juga mengalokasikan anggaran pada Badan Geologi untuk peningkatan kualitas data dan informasi panas bumi melalui program eksplorasi panas bumi oleh Pemerintah, dengan tambahan target sebesar 1446 MW pada 2035.

Pemerintah menyatakan telah melaksanakan beberapa strategi pengembangan EBT, yaitu melalui implementasi Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga pembangkit tenaga listrik EBT, pengembangan REBID melalui PLTA dan PLTP skala besar terintegrasi dengan industri, pengembangan PLTS Skala Besar dan PLTS Atap, pengembangan REBED untuk memacu perekonomian wilayah termasuk daerah 3T, pengembangan biomassa melalui kebun/hutan energi, limbah pertanian, sampah kota, penambahan/modernisasi jaringan transmisi, menjadikan NTT sebagai lumbung energi (PLTS) dan peningkatan kualitas data dan informasi panas bumi melalui program eksplorasi panas bumi oleh pemerintah.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan bahwa pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Hingga akhir tahun 2019 pencapaian target energi terbarukan dalam bauran energi baru mencapai 9,15 %.

Untuk itu, diperlukan percepatan penggunaan energi terbarukan di Indonesia dalam upaya mengantisipasi krisis ekonomi dan energi yang akan datang.

“Apalagi negara-negara di dunia saat ini sedang berlomba-lomba mengembangkan energi terbarukan,” kata Surya Darma.

Surya menekankan bahwa pemanfaatan energi terbarukan dapat mempercepat investasi untuk pemulihan ekonomi yang mengutamakan pembangunan berkelanjutan di sektor energi.

“Pemanfaatan energi terbarukan masih dirasa perlu disebarluaskan secara komprehensif dan intensif kepada masyarakat, perguruan tinggi, mahasiswa, industri dan perusahaan, lembaga penelitian, parlemen, pemerintah daerah dan media,” ujarnya.

Suharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, mengatakan bahwa pemerintah telah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagai langkah awal untuk transformasi ekonomi menuju negara maju.

Dalam RPJMN ini juga dimasukkan agenda Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional untuk mengubah ekonomi nasional menuju ekonomi rendah karbon.

Pemulihan Ekonomi

Pengembangan EBT merupakan salah satu strategi untuk pemulihan ekonomi. Dari sisi pertumbuhan bauran energi, EBT sudah mencapai 9,15% pada tahun 2019.

Menurut Dadan, teknologi EBT dan konservasi energi merupakan penyumbang terbanyak dalam penurunan emisi CO2. Oleh karenanya, EBT diusahakan untuk ditingkatkan sebagai salah satu strategi untuk pemulihan ekonomi dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

“Pemerintah terus mendorong partisipasi pelaku usaha untuk turut mendukung percepatan pengembangan EBT di Indonesia,” ujar Dadan.

Saat ini pemerintah tengah melaksanakan berbagai program akselerasi agar porsi EBT mencapai target 23% pada bauran energi nasional tahun 2025. Salah satunya adalah program pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap secara masif baik pada sektor rumah tangga, ekowisata, sektor industri maupun bangunan komersial.

PT Coca Cola Amatil yang berlokasi di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, telah mengoperasikan PLTS Atap dengan kapasitas 7,13 MWp pass tahun 2019, dan 2,65 MWp pada Oktober 2020. Sisanya sebesar 4,48 MWp diperkirakan akan beroperasi pada awal tahun 2021. PLTS Atap ini merupakan panel surya terbesar yang dipasang di fasilitas manufaktur di Asia Tenggara dengan nilai investasi sebesar Rp 87 miliar. PLTS ini mampu mengurangi 13% dari pemakaian PT PLN (Persero) dan mampu membantu mengurangi emisi karbon sebesar 8,9 juta kg/tahun.

Hingga kuartal III 2020, kapasitas PLTS Atap baik yang dipasang oleh pelanggan PLN (on grid), pelanggan non PLN (Wilus lain) maupun off grid memiliki total kapasitas sebesar 30,40 MWp. Menurut data, jumlah pelanggan PLTS Atap PLN saat ini sebanyak 2.779 pelanggan dengan total kapasitas 19,22 MWp, dimana tercatat sektor industri sebanyak 17 pelanggan dengan total kapasitas 8,08 MWp, sektor bisnis 196 pelanggan berkapasitas 2,29 MWp, dan sisanya dari sektor rumah tangga, pemerintah, sosial, dan layanan khusus. Sementara total kapasitas pelanggan PLN yang memasang PLTS Atap secara off grid maupun pelanggan Wilayah Usaha Non PLN yang memasang PLTS Atap adalah sebesar 11,18 MWp.

Dadan mengungkapkan bahwa pemerintah memberikan kemudahan bagi swasta dalam pengembangan PLTS melalui pemberian insentif fiskal dan dukungan pembiayaan.

“Untuk sisi insentif secara perundang-undangan di sektor keuangan sebenarnya sudah ada, memang ini dalam implementasi bahwa biaya masuk bebas untuk peralatan yang diperuntukkan untuk pembangkit listrik. Kemudian dari sisi pembiayaan komitmen dari OJK untuk mendukung green investment, dan kami sebetulnya punya hubungan yang baik dengan PT. SMI yang ini langsung,” kata Dadan.

Strategi pengembangan EBT yang tepat diyakini akan memacu pemanfaatannya di Indonesia yang saat ini baru 10,4 GW atau sekitar 2,5% dari total potensi 417,8 GW.

Dadan meyakini target bauran EBT 23% pada tahun 2025 dapat tercapai dengan pelaksanaan program akselerasi yang komprehensif dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan.

“Strategi pertama dengan substitusi energi primer tanpa perlu mengganti teknologi utamanya, seperti cofiring biomassa yang tetap menggunakan PLTU yang sama. Kedua, konversi energi primer, dalam hal ini membutuhkan konversi dari segi teknologi. Setelah mulai pulih dari sisi pertumbuhan ekonomi, maka strategi yang ketiga adalah penambahan kapasitas pembangkit EBT,” kata Dadan.

Dadan menambahkan, saat ini demand listrik sedang terkoreksi sampai minus 2,4%. Oleh karenanya, perlu pemikiran yang komprehensif semua pihak untuk bisa mengusulkan sebuah kegiatan dan program bahwa energi terbarukan tetap akan naik.

Pemerintah saat ini sedang menyusun Grand Strategi Energi Nasional untuk menjamin ketersediaan energi yang cukup, kualitas yang baik, harga yang terjangkau dan ramah lingkungan dalam kurun waktu 2020-2040. Strategi yang dikembangkan antara lain meningkatkan lifting minyak, mendorong pengembangan kendaraan listrik, pengembangan dan pembangunan kilang, serta pengembangan EBT untuk mengurangi impor minyak, sedangkan untuk mengurangi impor LPG melalui strategi penggunaan kompor listrik, pembangunan jaringan gas kota, dan pemanfaatan DME.

“Pelaksanaan Grand Strategi Energi Nasional juga mempertimbangkan kondisi pengembangan energi nasional saat ini, memperhatikan sumber EBT yang tersedia, dan menyesuaikan dengan tren ekonomi EBT,” ujar Dadan.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Tarbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM juga telah menetapkan volume alokasi Bahan Bakar Nabati Jenis (BBN) jenis biodiesel di tahun 2021 sebesar 9,2 juta kilo liter (KL). Besaran tersebut akan digunakan untuk pencampuran biodiesel sebesar 30 persen ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar (B30).

Dadan mengatakan  adanya penurunan dalam penetapan alokasi di tahun depan dibandingkan tahun 2020, karena dampak pandemi Covid 19 yang diperkirakan pada tahun 2021 masih berlanjut.

Hingga akhir Desember 2020, proyeksi realisasi sebesar 8,5 juta KL atau 88 % dari target yang ditetapkan sebesar 9,6 juta KL.

“Penyebab terjadi penurunan sebesar 12% salah satunya adalah adanya pandemi Covid-19 dan terjadinya gagal suplai beberapa Badan Usaha BBN dalam penyaluran biodiesel,” ungkap Dadan.

Untuk penyaluran di tahun 2021, pemerintah telah menunjuk 20 Badan Usaha (BU) BBM dan BU BBN sebagai pemasok biodiesel. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 252.K/10/MEM/2020 yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2020.

Adapun untuk BU pemasok biodiesel, PT Wilmar Nabati Indonesia mendapatkan alokasi sebesar 1,37 juta KL diikuti oleh PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar 1,32 juta KL. Kemudian ada PT Musim Mas dan PT Cemerlang Energi Perkasa yang akan mendistribusikan biodiesel masing-masing sebesar 882 ribu KL dan 483 ribu KL

Saat ini telah terdaftar 41 BU BBN yang telah memiliki Izin Usaha Niaga BBN dengan total kapasitas 14,75 Juta KL, yang terdiri dari 27 BU BBN yang aktif dan 14 BU BBN yang tidak aktif. Disamping itu, terdapat 1 BU BBN yang melakukan perluasan pabrik biodiesel dengan kapasitas 478 ribu KL dan 3 BU BBN yang sedang melakukan pembangunan pabrik biodisel baru dengan kapasitas total 1,57 Juta KL dan akan mengajukan IUN BBN pada tahun 2021.

Kementerian ESDM bersama PT PLN (Persero) juga telah menyusun rencana aksi dengan melibatkan berbagai pihak terkait pelaksanaan program cofiring biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dalam rencana aksi tersebut antara lain penyelesaian roadmap pengembangan cofiring biomassa yang diharapkan selesai pada Desember 2020, termasuk penentuan skala prioritas klister dari PLTU.

Program-progam pengembangan EBTKE yang juga disiapkan oleh pemerintah, antara lain:

– Penciptaan pasar baru untuk energi terbarukan melalui program: Renewable Energy Based Industry Development (REBID) dan Renewable Energy Based on Economic Development (REBED);

– Mendorong peningkatan kapasitas PLT EBT dengan memastikan komitmen pihak terkait dalam pengembangan PLT EBT sesuai RUPTL; pengembangan PLTS dan PLTB skala besar untuk menciptakan pasar yang menarik bagi investor dan mengembangkan industri lokal;

– Memaksimalkan penerapan Bioenergi, melalui percepatan pembangunan PLTSa di 12 Kota, PLTU biomasa co-firing, program B30, serta program pembangunan green refinery;

– Pengembangan panas bumi berbasis wilayah melalui program Flores Geothermal Island, yaitu pemenuhan beban dasar listrik di Pulau Flores dari panas bumi dan optimalisasi pemanfaatan langsung dari panas bumi;

– Peningkatan kualitas data dan informasi panas bumi melalui program eksplorasi panas bumi oleh Pemerintah, untuk mengurangi risiko eksplorasi yang dihadapi pengembang;

– Sinergitas pengembangan EBT dengan pengembangan kluster ekonomi seperti Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri dan Kawasan Wisata Unggulan;

– Modernisasi infrastruktur ketenagalistrikan melalui smart grid;

– Fasilitas pendanaan berbiaya rendah untuk investasi Energi Terbarukan; dan

– Memanfaatkan waduk untuk PLTS terapung sebagaimana diatur dalam Permen PUPR No. 6 Tahun 2020.(Yurika P)