JAKARTA– Fenomena krisis energi di sejumlah negara memberi dampak positif bagi Indonesia. Kendati berpotensi meningkatkan impor minyak mentah dan produk bahan bakar minyak (BBM), Indonesia juga dapat memanfaatkan momentum krisis dari sisi neraca perdagangan, yaitu peningkatan ekspor komoditas batu bara dan gas alam cair (LNG).

Widhyawan Prawiraatmadja, Gubernur Indonesia untuk Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) 2015-2016, mengatakan krisis energi akan berpengaruh pada harga BBM dan elpiji yang biaya perolehannya meningkat tajam. Apalagi Indonesia rentan terhadap peningkatan harga energi primer, khususnya minyak bumi, ditambah dengan sebagian harga produk BBM dan elpiji 3 kilogram yang masih disubsidi.

“Sebagian komoditas nonsubsidi ini sangat bergantung pada kondisi harganya. Kalau harga dinaikkan, tentu membebani BUMN yang menyediakan dan perusahaan lain yang melakukan suplai. Nah, subsidi yang membengkak dapat mempengaruhi anggaran,” ujar Widhyawan, saat berbicara pada webinar “Krisis Energi Mulai Melanda Dunia, Bagaimana Strategi RI?”, Minggu (10/10).

Di sisi lain, lanjut Widhyawan, Indonesia diuntungkan dengan krisis energi tersebut. Pasalnya, Indonesia merupakan net exporter untuk komoditas batu bara dan LNG yang bisa menguntungkan Indonesia dari sisi neraca perdagangan.

“Selama 15 bulan secara berturut Indonesia mengalami surplus cadangan devisa karena harga komoditas yang terjaga. Harga energi yang melonjak akan berdampak pada peningkatan harga komoditas lain serta layanan jasa, sehingga bisa juga mengancam kenaikan inflasi yang melebihi target,” katanya

Widhyawan menyebutkan, salah satu cara agar Indonesia bisa keluar dan tak terdampak krisis energi global adalah dengan cara memperbaiki kebijakan energi transisi yang saat ini dinilai belum matang. Kebijakan energi transisi dengan energi baru terbarukan (EBT) yang merata dan terintegrasi, dapat menjauhkan Indonesia dari kerentanan gangguan pasokan energi global.

“Cuaca yang tak menentu di sejumlah negara Eropa termasuk Inggris memengaruhi kelangkaan energi yang mengarah kepada krisis. Bahkan dengan kejadian ini, sejumlah negara tersebut bisa terancam tak memiliki cadangan listrik sepanjang musim dingin,” katanya.

Dia menilai, tingkat cuaca yang tak menentu tersebut membuat harga gas dan batubara menjadi meningkat, juga diikuti harga minyak yang ikut melambung. Meski masih terjadi di sebagian negara di Eropa, pakar energi mewanti-wanti Indonesia untuk bisa bersiap dalam menghadapi krisis.

Dia menyebutkan beberapa poin ketidakpastian yang bisa terjadi di dalam negeri. Pertama, kondisi ekonomi yang masih dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 termasuk adanya pent-up demand di jangka pendek. Kedua, kondisi perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berikutnya, terjadinya perubahan pola investasi sebagai dampak langsung transisi energi, baik untuk energi primer, maupun infrastruktur energi. Perusahaan energi perlu diversifikasi dengan kondisi pembiayaan (cost of capital) yang berbeda.

“Nilai ekonomi karbon yang penerapannya belum merata sehingga opportunity cost di berbagai kawasan atau negara semakin meningkat. Belum lagi kondisi geopolitik yang saat ini dipicu oleh persaingan ekonomi Amerika Serikat dan China, China dan Australia, serta Rusia dan Uni Eropa,” ujarnya. (RA)