JAKARTA – Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) yang beranggotakan lebih dari 90 produsen batu bara yang berkontribusi terhadap sekitar 80 % produksi nasional menyayangkan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang melarang pengangkutan batu bara melalui jalan umum dan dialihkan ke angkutan kereta api dan jalan khusus. Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 74 Tahun 2018.

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif APBI, mengatakan kebijakan yang mulai berlaku pada 8 November 2018 ditengarai berdampak terhadap sekitar 10 juta metrik ton (MT) pasokan batu bara dari Sumsel yang setiap tahun melewati jalan umum atau senilai US$500 juta.

“Pengalihan ke jalan khusus yaitu jalan Servo yang dikelola Titan, serta angkutan kereta api yang ada saat ini diperkirakan tidak dapat menampung pengalihan pasokan tersebut,” kata Hendra di Jakarta, Jumat (16/11).

Produksi batu bara di Sumsel pada 2018 ditargetkan mencapai 48,5 juta MT atau sekitar 10% dari total target produksi nasional. Sekitar 25 juta MT batu bara Sumsel diproduksi dari tambang PT Bukit Asam Tbk, dan sisanya sekitar 23,5 juta MT diproduksi oleh sekitar 30-an perusahaan tambang.

Menurut Hendra, kebijakan larangan angkutan batu bara melintasi jalan umum dikhawatirkan akan memunculkan gangguan terhadap pasokan batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam negeri. Terganggunya pasokan akan berdampak negatif terhadap penurunan pendapatan asli daerah Sumsel dan penerimaan negara (pajak dan non pajak). Serta berpotensi menekan defisit neraca transaksi berjalan.

APBI menilai kebijakan Pemprov Sumsel tersebut justru bertolak belakang dengan upaya Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang sedang aktif meningkatkan ekspor untuk mengatasi defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan.

Mengingat industri pertambangan batu bara adalah sektor penting bagi Provinsi Sumsel yang selama ini dikenal sebagai lumbung energi, maka dikhawatirkan kebijakan Pemprov Sumsel tersebut akan berdampak terhadap industri batu bara di Sumsel dan juga sektor usaha lain yang menopang industri pertambangan batu bara.

APBI mengkhawatirkan akan meningkatnya jumlah pengangguran yang berpotensi memicu permasalahan sosial. Selain itu, kebijakan tersebut juga dipandang akan berdampak terhadap meningkatnya non-performing loan di industri pertambangan batu bara dan industri penunjang.

APBI mempertanyakan kebijakan tersebut karena hanya diberlakukan terhadap pengangkutan komoditas batu bara, sedangkan komoditas lain seperti kayu, kelapa sawit, dan lainnya tetap masih bisa menggunakan jalan umum.

“Kami menghimbau agar Pemprov Sumsel dapat mempertimbangkan lagi kebijakan tersebut dengan membahas secara komprehensif dengan para pelaku usaha terkait agar supaya kebijakan yang dihasilkan lebih tepat sehingga sektor pertambangan batu bara di Sumsel dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Provinsi Sumsel dan negara Indonesia serta juga dapat meningkatkan investasi dan menjamin kepastian berusaha,” kata Hendra.(RA)