JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengevaluasi perusahaan yang membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter. Evaluasi dilakukan pasca diberlakukannya pelarangan ekspor nikel kadar rendah 1,7% ke bawah oleh pemerintah dengan tujuan untuk memastikan perusahaan yang kompeten membangun smelter.

Hasilnya pemerintah merevisi target pembangunan smelter pada 2022 mendatang.

Yunus Saefulhak, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, mengatakan hasil dari evaluasi menunjukkan ada beberapa smelter yang tidak memiliki fondasi kuat, terutama dari sisi kesiapan finansial. Ini terjadi karena para pengusaha terlalu mengandalkan ekspor nikel untuk menjadi modal pembangunan smelter.

“Pemerintah mengevaluasi kemajuan smelter dari yang semula 68 smelter yang beroperasi pada 2022 menjadi 52 smelter, banyak (smelter) ketergantungan dengan ekspor nikel ore,” kata Yunus ditemui dikantornya, Kamis (23/1).

Smelter tersebut ditargetkan sudah terbangun semuanya dan beroperasi pada 12 Januari 2022. Adapun dari 52 smelter sebanyak 17 diantaranya sudah terbangun dan beroperasi saat ini. Sehingga ada 35 smelter lagi yang masih belum terbangun.

Adapun rinciannya sebanyak 31 smelter sekarang telah terdata ditambah dua smelter milik PT Freeport Indonesia terdiri dari satu smelter tembaga dan satu smelter anoda slime. “Kemudian dua smelter lainnya milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara terdiri dari satu smelter tembaga dan smelter anoda slime,” ujar Yunus.

Dengan berkurangnya jumlah smelter yang ditargetkan terbangun maka terjadi penyusutan total kapasitas pengolahan yang awalnya sebesar 96 juta ton menjadi 69 juta ton.

Menurut Yunus, pemerintah akan meningkatkan pengawasan terhadap sisa smelter yang belum terbangun, terutama 31 smelter yang didata selain milik PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara.

Ada tiga fokus pengawasan yakni terkait financial close atau ketersediaan dan kemampuan pendanaan, ketersediaan supply power (listrik) dan perizinan dari pemerintah daerah.

Yunus mengatakan produksi nikel matte, feronikel, Nikel Pig Iron (NPI), masing-masing punya rencana dan proyeksi. Begitu juga dengan bauksit, besi, tembaga mangan, timbal, dan anoda.

“Kami lakukan coaching fasilitasi dibuatkan jadwal setiap badan usaja kita lakukan one on one apasih kendala masalah ketika ekspor nikel dilarang,” ungkap Yunus.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, dari 31 smelter yang tengah dibangun, 16 proyek smeltet belum mencapai tahapan financial close.

“Yang sudah financial close dari 31 smelter semua yang berencana, sudah financial close 15 smelter, sementara yang belum financial close itu 16 smelter,” papar Yunus.

Selain itu pemerintah juga mengidentifikasi dan menyusun profile project. Pemerintah yang mengundang calon investor perbankan

“Nanti B to B, begitu financial project dipresentasikan, nanti diajari presentasinya kita fasilitasi. Ujungnya ada lembaga keuangan bilateral, multilareral, publik, BUMN, swasta internasional, misalnya Sumitomo, Mitsubishi, Marubeni saya yakin banyak yang tertarik,” jelas Yunus.

Menurut Yunus, 16 perusahaan smelter akan mengikuti proses coaching yang digelar pemerintah.

Kemudian dari sisi kesiapan pasokan energi listriknya dari 31 smelter itu yang sudah memilik perjanjian dengan PLN dalam bentuk Power Purchase Agreement (PPA)
dengan PLN baru sembilan smelter jadi ada 22 yang belum ada kepastian pasokan listrik dari PLN. Menurut Yunus ini tidak jadi masalah dengan catatan pembangunan pembangkit secara mandiri oleh pengusaha smelter bisa dipastikan kesiapannya.

“Berarti mau bangun sendiri. Harus diklarifikasi bener nggaka, dengan siapa EPC nya. Pemerintah wajib lakukan pengawalan,” katanya.

Menurut Yunus pemerintah sudah melakukan pertemuan dengan pelaku usaha sejak 6 bulan dan akan dilanjutkan dengan mempertemukan pelaku usaha dengan PLN.

“Bulan ke enam tahun ini diharapkan persoalan pendanaan, listrik selesai,” tegas Yunus.(RI)