JAKARTA – Tantangan yang dihadapi pada era adaptasi kebiasaan baru atau new norma perlu disikapi dengan melaksanakan refocusing program agar berjalan secara efisien dan efektif dengan mengoptimalkan modalitas sumberdaya yang tersedia. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan Program Kampung Iklim (ProKlim) 2020, yang terus dilaksanakan dalam upaya mempersiapkan masyarakat yang berketahanan iklim dan menerapkan pola hidup rendah emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Ruandha A Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), mengatakan bahwa sesuai kebijakan Menteri LHK, pelaksanaan ProKlim akan terus diperkuat dengan target 20 ribu kampung iklim pada akhir periode RPJMN 2020-2024. Untuk mencapai target tersebut sinergi antar program prioritas KLHK akan terus ditingkatkan, termasuk pengembangan lokasi ProKlim pada wilayah desa binaan KLHK.

“Lokasi yang sudah didaftarkan menjadi Proklim melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) sampai tahun ini berjumlah 2.775 lokasi setingkat desa/kelurahan dan dusun/RW,” kata Ruandha, dalam Media Briefing secara virtual, Rabu (23/9).

Selain itu, menurut Ruandha, kemitraan dengan dunia usaha dan perguruan tinggi juga akan terus dibangun. Serta memperkuat peran pemerintah daerah sebagai pembina Proklim.

Ruandha mengungkapkan, kelompok masyarakat di tingkat tapak dengan pendampingan perangkat pemerintah daerah mulai dari desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota sampai provinsi dan dukungan berbagai pihak, termasuk dunia usaha pada era new normal ini, terus bergerak melaksanakan kegiatan yang dapat berkontribusi terhadap penguatan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Modalitas kelembagaan masyarakat dan dukungan keberlanjutan di lokasi Proklim, serta kegiatan baik terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dijalankan oleh masyarakat antara lain seperti pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan ketahanan pangan, penerapan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan pengelolaan sampah terbukti memberikan manfaat nyata bagi masyarakat kampung iklim.

“Pengendalian perubahan iklim tidak hanya berhenti pada proses negosiasi di tingkat internasional. Kesepakatan yang ditetapkan para pihak dalam berbagai forum persidangan, perlu diterjemahkan menjadi aksi nyata di tingkat nasional, sub-nasional sampai ke tingkat tapak. Dengan pendekatan yang holistik, terarah, strategis dan partisipatif diharapkan kita mampu mewujudkan Indonesia berketahanan iklim dan rendah emisi GRK,” ungkap Ruandha.

Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal PPI Kementerian LHK, mengatakan Proklim adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian LHK dalam rangka meningkatkan pemahaman mengenai perubahan iklim, penyebab dan dampaknya, sehingga masyarakat dan seluruh pihak terdorong untuk berpartisipasi aktif melaksanakan penguatan kapasitas adaptasi perubahan iklim dan penurunan emisi GRK. Melalui pelaksanaan Proklim, pemerintah memberikan pengakuan terhadap kegiatan baik yang berkontribusi terhadap upaya pengendalian perubahan iklim dan dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai dengan karateristik dan kondisi masing-masing wilayah.

Tantri menambahkan, sebagai gerakan nasional pengendalian perubahan iklim berbasis masyarakat, Proklim dilaksanakan pada lokasi minimal di tingkat RW/Dusun dan maksimal di Desa/Kelurahan atau pada lokasi khusus yang masyarakatnya secara kolektif telah melaksanakan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara berkelanjutan misalnya di lingkungan kampus, pesantren, paroki, dan lain sebagainya.

Tantri juga menjelaskan, landasan hukum pelaksanaan Proklim, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.84/Menlhk-Setjen/Kum.1/11/ 2016 tentang Program Kampung Iklim, Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) nomor P.1/PPI/SET/KUM.I/2/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Kampung Iklim, dan Perdirjen PPI nomor P.7/PPI/API/KUM.1/9/2020 Tentang Perubahan P.1/PPI/SET/KUM.1/2/2017.

Termuat dalam peraturan, bahwa kegiatan di lokasi ProKlim harus mencakup tiga komponen kegiatan yaitu kegiatan adaptasi perubahan iklim meliputi kegiatan pengendalian kekeringan, banjir dan longsor, peningkatan ketahanan pangan, antisipasi kenaikan muka air laut dan pengendalian penyakit terkait iklim; kegiatan mitigasi perubahan iklim, mencakup pengelolaan sampah dan limbah, penggunaan energi baru terbarukan, konservasi dan penghematan energi, budidaya pertanian rendah emisi GRK, peningkatan tutupan vegetasi serta pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan; aspek kelembagaan dan dukungan keberlanjutan kegiatan yang mencakup kelompok masyarakat, dukungan kebijakan, dinamika kemasyarakatan, kapasitas masyarakat, keterlibatan pihak eksternal, pengembangan kegiatan serta manfaat sosial, ekonomi, lingkungan dan pengurangan risiko bencana iklim.

“Pengembangan kegiatan di lokasi Proklim diharapkan terlaksana secara komprehensif meliputi tahapan identifikasi kerentanan dan risiko perubahan iklim, identifikasi sumber emisi dan serapan gas rumah kaca, peningkatan kapasitas masyarakat untuk mendukung aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, penyusunan rencana aksi, pelaksanaan aksi, peningkatan kapasitas akses sumberdaya pendanaan, teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta pemantauan dan evaluasi aksi,” tandas Tantri.(RA)