JAKARTA – Penggunaan energi nuklir sedang gencar-gencarnya terus didorong agat tidak menjadi opsi terakhir dalam bauran energi Indonesia. Dorongan tersebut sepertinya mulai membuahkan hasil dengan masuknya poin pengembangan tenaga nuklir untuk energi dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tengan dibahas.

Susilo Widodo, Ketua Umum Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI) mendukung penyusunan RUU EBT dan pasal-pasal yang memberikan kepastian untuk terwujudnya nuklir di Indonesia.

“HIMNI mendukung pasal-pasal yang memberi kepastian untuk nuklir di Indonesia yang secara umum telah terakomodasi. Kami berjuang agar nuklir tidak menjadi opsi terakhir melulu,” kata Susilo di Gedung DPR, Jumat (2/10).

HIMNI meminta agar RUU EBT kondusif bagi semua jenis energi, dalam hal ini termasuk nuklir sehingga nantinya akan menjadi penajaman yang menyatakan nuklir bagian dari EBT.

Menurut Susilo, dengan target bauran energi sebesar 23% pada 2025 akan sulit tercapai tanpa melibatkan nuklir.

“UU ini sebagai penajaman yang menyatakan bagian dari EBT, bauran 23% sulit tercapai tanpa nuklir,” kata dia.

Susilo pun mendukung pembentukan badan khusus untuk nuklir dimana nantinya akan menjalakan tugas dan fungsi yang saat ini tidak bisa dijalankan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Nantinya akan  ada dewan tenaga nuklir nasional, sejajar dengan Dewan Energi Nasional (DEN).

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bauran EBT hingga 2019 baru mencapai 9,15%. Jadi masih banyak pekerjaan rumah untui mencapai target pada 2025 mencapai 23%.

Sementara itu, pengembang pembangkit listrik tenaga nuklir, ThorCon International, Pte. Ltd memandang dengan masuknya nuklir di dalam RUU EBT maka opsi nuklir sebagai pilihan terakhir tidak relevan lagi. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Bob S Effendi, Kepala Perwakilan ThorCon International Pte Ltd mengatakan semangat daripada RUU EBT adalah bertransisi energi menuju Indonesia yang rendah karbon.

Di dalam naskah akademik menurutnya menempatkan nuklir sejalan dengan perspektif transisi energi. Nuklir disebutkan berperan penting di dalam industrialisasi sebagai energi yang masif dan kontinyu. Sebagai reaktor generasi IV memiliki keselatan dan keekomian lebih tinggi dibandingkan reaktor generasi dahulu.

“Komponen penting transisi energi adalah nuklir. Salah satu peran penting nuklir adalah industrialisasi yang masif dan kontinyu. Dengan adanya RUU EBT artinya opsi terakhir di PP 79 tidak relevan. RUU EBT menjadi pintu nuklir,” kata Bob.

Lebih lanjut dia mengatakan hal kurang positif terhadap perkembangan nuklir dalam RUU EBT melanggar UU No 10 Tahun 1997 tentang Ketenagalistrikan dan UU No 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Lalu dengan adanya BUMN Khusus yang dapat membangun PLTN, tidak sejalan dengan semangat RUU Cipta Kerja, keinginan pemerintah, dan DPR untuk membuka investasi swasta pada seluruh sektor.

“Berpotensi menjadikan nuklir dipolitisasi dengan adanya persetujuan DPR (dalam draft September) tadinya hanya konsultasi (draft Juli). Tidak mengatakan nuklir sebagai bagian dari transisi energi sebagaimana ditulis di dalam naskah akademik,” kata Bob.(RI)