JAKARTA – Baru-baru ini publik dibuat tercengang dengan kinerja dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT PLN (Persero). Melalui kinerja keuangan 2018 PLN membuat prediksi banyak kalangan tidak berarti. Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis,  PLN ternyata meraih laba bersih, jauh dari prediksi banyak kalangan yang memperkirakan perseroan menelan kerugian.

PLN sepanjang 2018 mampu mencetak laba bersih sebesar Rp11,57 triliun, melonjak 161,17% dibanding raihan 2017 yang hanya sebesar Rp4,43 triliun.

Pantas memang berbagai pihak tercengang dengan kinerja keuangan PLN. Pasalnya, hingga kuartal ketiga 2018, perusahaan listrik milik negara ini masih menderita kerugian mencapai Rp18,46 triliun, lantaran perseroan harus menanggung rugi kurs mencapai Rp 17,33 triliun. Walaupun, laba operasional sebelum selisih kurs tercatat sebesar Rp 9,6 triliun atau naik 13,3% dibanding 2017 yang senilai Rp 8,5 triliun.

Pendapatan usaha PLN 2018 meningkat 6,89% menjadi Rp 272,89 triliun, dibanding realisasi 2017 yang sebesar Rp255,3 triliun. Namun, beban usaha juga meningkat 11,88% dari Rp275,47 triliun pada 2017 menjadi Rp 308,19 triliun. Pada 2018, PLN juga masih menanggung kerugian kurs sebesar Rp 10,93 triliun.

PLN mengklaim penjualan listrik menjadi salah satu pintu masuk utama pemasukan  yang mencapai Rp 263,48 triliun, naik 6,8% dibanding realisasi pada 2017 sebesar Rp 246,58 triliun. Hal ini sejalan dengan realisasi penjualan setrum yang mencapai 234 terawatt hour (TWh) atau naik 5,15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 223 TWh. Kenaikan konsumsi setrum ini didominasi oleh pertumbuhan konsumsi pelanggan bisnis dan industri.

Sarwono Sudarto, Direktur Keuangan PLN, mengatakan peningkatan penjualan listrik karena perusahaan berhasil menambah kapasitas pembangkit listrik, jaringan transmisi, dan gardu induk.

“Jaringan transmisi sepanjang 5.323 kilometer sirkuit (kms) kini menjadi 53.606 kms dan gardu induk sebesar 20.645 MVA menjadi 131.164 MVA,” kata Sarwono.

Peningkatan konsumsi listrik juga didukung kenaikan jumlah pelanggan yang hingga akhir 2018 telah mencapai 71,9 juta atau bertambah 3,8 juta pelanggan dari akhir 2017. Peningkatan jumlah pelanggan juga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional menjadi 98,3%, lebih tinggi dari target sebesar 97,5%.

PLN sebenarnya pada tahun lalu akan mengalami kerugian mencapai Rp 35,29 triliun, lebih besar dibanding kerugian 2017 yang sebesar Rp 25,59 triliun. Namun untugnya BUMN listrik itu mendapat subsidi listrik dari negara sebesar Rp 48,1 triliun. Jumlah tersebut juga meningkat dibanding tahun 2017 yang tercatat Rp 45,74 triliun.

Kemudian ada satu poin plus yang didapatkan perseroan tahun 2018 yakni adanya pos pendapatan baru dari kompensasi dari negara sebesar Rp 23,17 triliun. Pos pendapatan kompensasi ini tidak ada dalam laporan keuangan 2017.

Pendapatan kompensasi ini sesungguhnya berupa piutang kompensasi dari negara. Piutang kompensasi ini merupakan penggantian biaya pokok penyediaan (BPP) listrik beberapa golongan pelanggan, yang tarif penjualan tenaga listriknya lebih rendah dibandingkan BPP, dan belum diperhitungkan dalam subsidi yang diakui sebagai pendapatan atas dasar aktual. Per 31 Desember 2018, piutang kompensasi perusahaan adalah sebesar Rp 23,17 triliun.

Belum selesai sampai di situ. Ternyata dalam catatan penghasilan lain-lain, PLN juga memperoleh pendapatan dari pemerintah sebesar Rp 7,45 triliun. Pendapatan yang dimaksud adalah piutang dari pemerintah untuk penggantian BPP di mana tarif penjualannya di bawah BPP. Hal ini sesuai dengan Surat Menteri Keuangan No S-440/MK/02/2018 tanggal 28 Juni 2018.

Kewajiban Pemerintah

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch,  menilai PLN sebagai Public Service Obligation (PSO) harus melayani masyarakat sampai ke pelosok negeri dengan target elektrikfikasi mencapai 99% di wilayah Indonesia. “Disisi lain pemerintah sejak 2017 tidak menaikan tarif listrik untuk 12 golongan non subsidi. Ini jelas menjadi beban oleh PLN karena mereka tidak bisa melakukan adjustment tarif,” kata Mamit kepada Dunia Energi, Selasa (11/6).

Mamit mengatakan sesuai dengan UU BUMN 19/2003 pasal 66 ayat (1) maka pemerintah wajib memberikan konpensasi kepada PLN. “Dalam Laporan Keuangan mereka,dana kompensasi ini untuk tahun 2017. Selain itu juga mereka cukup terbantu terkait effisiensi internal yang mereka lakukan serta kebijkan pemerintah terkait dengan DMO batu bara untuk PLN,” ungkap Mamit.

Menurut Mamit, kompensasi yang diberikan saat ini masih berupa pencatatan di laporan keuangan, namun paling tidak bisa membuat kepercayaan kreditor kepada PLN meningkat. “Bahkan PLN standar hutang mereka dinaikan oleh S&P menjadi BBB dari BBB-. Jadi artinya kreditor tidak takut lagi terkait dengan hutang yang diajukan oleh PLN,” kata Mamit.

Di sisi lain, lembaga konsultan pembiayaan energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai adanya berbagai kompensasi dari pemerintah tersebut menggambarkan bagaimana keuangan PLN ternyata tidak terlalu terlihat baik-baik saja.

Melissa Brown, peneliti senior IEEFA, mengaakan adanya bantuan dari pemerintah dalam bentuk kompensasi serta peningkatan subsidi tentu semakin menunjukkan merosotnya kinerja keuangan PLN. “Pemegang obligasi (PLN) mungkin akan senang dengan bantuan (pemerintah) ini untuk sementara, namun ini merupakan sinyal adanya kesulitan, bukan stabilitas,” kata Melissa.(RI)