JAKARTA – PT Pertamina (Persero) akan menggeser strategi bisnis hilir dari bisnis BBM ke petrokimia. Bisnis petrokimia diyakini akan menjadi bisnis utama dalam turunan dari industri migas.

Waljiyanto, Vice President Strategic Marketing Pertamina, mengatakan proses pergeseran bisnis Pertamina tersebut akan berlangsung selama enam tahun di mulai pada 2020.

“Seperti dicanangkan oleh top management, pada 2020 hingga 2026 terdapat pergeseran bisnis Pertamina. Selama ini, backbone bisnis Pertamina adalah fuel. Secara perlahan, itu nanti akan beralih ke petrokimia, sesuai dengan perubahan lingkungan usaha yang menuntut kami untuk mengimbanginya,” kata Waljiyanto, Senin (4/11).

Menurut dia, peningkatan dari penjualan petrokimia diharapkan sampai kurang lebih lima kali lipat. “Jika selama ini kami cenderung product-oriented, yaitu berdasarkan produk-produk yang dihasilkan dari kilang-kilang Pertamina, ke depannya kreativitas kami ditantang untuk bekerja secara market-oriented,” tukasnya.

Waljiyanto mengatakan sasaran dari pasar sangat penting untuk dipetakan terlebih dulu. Pertamina, bahkan tidak akan ragu jika harus melakukan pengadaan produk dari luar negeri asalkan ada kebutuhan besar akan produk tersebut dari pasar di dalam negeri.

“Jika kilang Pertamina belum maksimal memproduksi produk yang diinginkan masyarakat atau pasar, kami akan mencari sumber-sumber lain, baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan cara trading. Oleh karena itu, saat ini kami sedang fokus membangun organisasi trading di Pertamina, khususnya di Direktorat Pemasaran Korporat,” ujarnya.

Turunan produk petrokimia yang memiliki nilai tinggi selain dari fuel antara lain ethylene, propylene, benzene, toluene, xylene. Dari produk-produk itu diolah lagi menjadi produk-produk bahan baku kebutuhan hidup sehari-hari seperti biji plastik, industri ban, pelarut cat, dan lain-lain.

“”Kami tahu aspal untuk kebutuhan konstruksi jalan, wax/lilin untuk batik, dan produk-produk lainnya termasuk produk kimia pertanian yang sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari,” kata Waljiyanto.

Saat ini kemampuan Pertamina untuk mensuplai kebutuhan petrokimia dalam negeri diataranya polimer 1%, olefin 20%, aromatik 21%, special petrochemical 56%, dan aspal/bitumen 51%. Kondisi itu memang masih sangat sedikit.

Waljiyanto mengakui bahwa selama ini produk petrokimia Pertamina masih dianggap sebagai produk ekses, kondisi tersebut yang akan diubah sehingga perusahaan nantinya fokus pada produksi petrokimia.

Menurut dia, Pertamina bergembira dengan rencana yang telah disusun untuk membangun beberapa fasilitas untuk maksud tersebut di atas. Program diversifikasi energi bahan bakar minyak sudah semakin gencar dilakukan, misalnya dengan berpindah ke energi gas listrik, energi baru terbarukan, dan seterusnya yang akan mengurangi revenue kita dari fuel.

“Oleh sebab itu, kami harus berkreasi menghasilkan produk petrokimia yang diharapkan dapat menjadi revenue generator baru bagi bisnis perusahaan. Sebagian besar data menunjukkan bahwa bisnis petrokimia akan sangat menguntungkan di masa mendatang,”ujar Waljiyanto.

Pengembangan bisnis Petrokimia Pertamina sendiri sejalan dengan enam proyek kilang yang sekarang dikerjakan oleh Pertamina yakni empat proyek pengembangan atau Refinery Development Master Plant (RDMP) terdiri dari kilang Balikpapan, Cilacap, Balongan dan Dumai serta dua kilang baru atau New Grass Root Refinery (NGRR) Tuban dan Bontang.

Saat ini kepasitas pengolahan petrokimia Pertamina hanya sebesar 700 kiloton per annum (ktpa). Akan tetapi kapasitasnya akan meningkat secara bertahap seiring rampungnya megaproyek kilang terdiri dari dua kilang baru yakni Tuban dan Bontang, serta ada empat kilang eksisting yang direvitalisasi yakni kilang Balikpapan, Cilacap, Balongan dan Dumai. Jika sudah rampung 2026 nanti produksi Petrokimia Pertamina ditargetkan bisa mencapai sekitar 6.600 ktpa.(RI)