JAKARTA – Indonesia dinilai belum memiliki Strategic Petroleum Reserves (SPR) yang mumpuni sehingga tidak bisa mengantisipasi kondisi pelemahan harga minyak dunia saat ini dengan bijak. Padahal sebagai negara importir, rendahnya harga minyak merupakan keuntungan tersendiri yang harus bisa dimanfaatkan dengan optimal.

Tutuka Ariadji, Pengamat Migas dan Guru besar Program Studi Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB), mengungkapkan ada beberapa SPR yang bisa dikaji dan diimplementasikan. Misalnya dengan menyimpan cadangan minyak di dalam reservoir.

“Bisa juga disimpan di reservoir dalam tanah. Tentunya dipilih yang closed reservoir, tidak tercampur air dan gas sehingga mudah mengambilnya kembali,” kata Tutuka kepada Dunia Energi, Senin (11/5).

Menurut Tutuka, dalam konsep SPR, opsi atau pilihan untuk melakukan penutupan sumur produksi di tengah harga minyak yang rendah dengan alasan untuk menghindari kerugian lebih baik tidak dijalankan. Lebih baik lapangan tetap diproduksi dan disimpan sebagai SPR. Hanya saja dukungan pemerintah sangat besar agar praktiknya bisa berjalan dengan baik. Serta tidak mengandalkan kemampuan badan usaha seperti PT Pertamina (Persero) semata.

“Tentunya hal ini memerlukan kerja sama dengan pemerintah, karena kemungkinan yang membeli adalah pemerintah untuk keperluan ketahanan nasional,” jelas Tutuka.

Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang berlomba memborong miyak saat harga sedang anjlok. SPR, lanjut Tutuka, berbeda dengan stok operasional yang dimilik Pertamina sekarang yang rata-rata tidak sampai 30 hari. “Berbeda dengan stok operasional yang saat ini dipunyai Pertamina yang notabene adalah BUMN, bukan negara,” kata dia.

Tutuka menambahkan menyimpan minyak di bawah permukaan tanah masih bisa dimungkinkan, meskipun memerlukan kriteria resevoir khusus. Pasalnya, setelah minyak mengalir, reservoir akan diisi oleh air dan minyak akan selalu berada di atas air karena densitasnya setelah berada di reservoir. “Namun jangan sampai menyulitkan produksinya lagi karena minyak dan air bercampur menjadi emulsi,” ungkap dia.

Menurut Tutuka, pemerintah bisa meminta Pertamina untuk mulai melakukan pendataan dan mengindentifikasi lapangan mana saja yang cocok untuk diterapkan metode penyimpanan minyak di dalam reservoir “Jadi di lapangan mana saja, harus dipilih secara geologi dan reservoir,” kata dia.

Pilihan untuk menyimpan minyak di dalam reservoir sendiri merupakan salah satu cara untuk menjaga ketahanan energi di tengah rendahnya harga minyak karena pemerintah bisa memborong minyak dari luar negeri. Tentu ini membutuhkan fasilitas penyimpanan di atas permukaan, tidak hanya di bawah tanah.

Tutuka menyebutkan pada dasarnya masih banyak fasilitas penyimpanan yang bisa dimanfaatkan. Tangki-tangki yang ada di lapangan yang tidak dipergunakan atau sedikit sekali pemakaiannya ada banyak, namun perlu diidentifikasi.

“Ingat bawah Indonesia pernah berproduksi di atas satu juta barel per hari sejak 1970 hingga 2005-an. Berarti mempunyai kapasitas fasilitas permukaan untuk menampung minyak mentah paling sedikit sejumlah itu,” kata Tutuka.

Karena itu menurut Tutuka lebih baik sumur produksi tidak ditutup, tetap produksikan dan melalui proses pengolahan lapangan. Minyak mentahnya kemudian disimpan, bisa di permukaan atau di bawah permukaan.

“Dapat disimpan di beberapa fasilitas produksi pada lapangan-lapangan tua yang sudah hanya terpakai sedikit atau tidak dioperasikan, atau malah ditinggalkan,” jelas Tutuka.

Julius Wiratno, Deputi Operasi SKK Migas, sebelumnya mengungkapkan adanya opsi untuk menutup sumur produksi apabila rendahnya harga minyak dibawah US$30-an per barel berlangsung lama serta demand atau permintaan minyak yang sangat rendah akibat konsumsi energi yang menurun akibat pandemi Covid-19.

Menurut Julius, opsi tersebut dikaji untuk menghindari kerugian terus menerus para produsen minyak karena tidak ada yang membeli minyak dan keterbatasan penyimpanan minyak di tanah air. “Kalau sudah tidak mampu lagi, ya pasti akan setop beroperasi sambil terus wait and see sampai akan dicapai titik keseimbangan supply demand baru, sangat complicated tentunya,” kata Julius.

Pemerintah saat ini mulai meyadari pentingnya fasilitas penyimpanan atau tangki minyak dengan mulai dilakukannya pendataan ketersediaan kapasitas tangki minyak di hulu. Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), mengungkapkan salah satu strategi yang sedang dikaji pemerintah adalah memanfaatkan tangki-tangki di sektor hulu atau yang biasa menyimpan minyak setelah diproduksi. Sejauh ini total kapasitas tangki yang terdata mencapai 29,6 juta barel. Kapasitas tangki tersebut terbagi menjadi tiga, yakni 24,8 juta barel dari tangki aktif. Kemudian 3,5 juta barel tangki dari tangki yang idle. Serta tangki yang rusak kapasitasnya 1,4 juta barel.

Dari kapasitas tangki sebesar 3,5 juta barel tersebut merupakan Barang Milik Negara (BMN) sehingga salah satu opsi pemanfaatannya melalui sewa. Sebanyak 1,2 juta barel di antaranya siap untuk diisi, namun terlebih dulu harus dilakukan inspeksi lebih lanjut. Selain itu, tangki dengan kapasitas 2,3 juta barel memang idle hanya kondisinya harus diperbaiki terlebih dulu.(RI)