JAKARTA – Proses alih kelola delapan blok terminasi tidak berjalan mulus. Hingga saat ini kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) tak kunjung ditandatangani, salah satunya menunggu kepastian mekanisme pembagian hak partisipasi (participating interest/PI).

Gunung Sardjono Hadi, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE), anak usaha PT Pertamina (Persero), mengatakan sesuai arahan Pertamina masih harus menunggu kepastian mekanisme pembagian PI. Pertamina akan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mereview mekanisme pembagian PI di blok terminasi.

“Pertamina (Persero) sudah minta waktu. Arahan dari Pertamina, kami sudah minta waktu ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melihat kembali untuk mereview terkait pembelian (atau pemberian) PI. Jadi progress-nya tanya ke Pertamina. Mintanya ke BPK atau ke mana,” kata Gunung saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Jakarta, Senin (9/4).

Dari delapan blok, empat blok yang diserahkan Pertamina akan dikelola bersama dengan mitra, yakni Blok Tuban, Ogan Komering, Offshore Southeast Sumatera (OSES) dan Blok Sanga Sanga.

Untuk Blok Tuban yang diberikan kepada Pertamina melalui PHE Tuban East Java akan menggandeng PT PetroChina Internasional Java Ltd. Di Ogan Komering, PHE Ogan Komering menggandeng Jadestone Energy (Ogan Komering) Ltd. PHE juga ditunjuk untuk mengelola blok OSES melalui PHE OSES bersama dengan PT GHJ SES Indonesia.

Untuk Sanga Sanga, Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Sanga Sanga, menggandeng PT Karunia Utama Perdana dan Opicoil Houston Inc.

Menurut Gunung, Pertamina hanya mencoba menerapkan Good Corporate Governance (GCG) agar tidak ada salah persepsi dalam alih kelola blok terminasi tersebut.

“Info yang saya terima dari Pertamina, mereka sedang minta waktu tambahan. Minta pendampingan dari BPK atau Kejagung untuk mereview sebelum diputuskan Pertamina dengan pembagian PI,” katanya.

Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan perbedaan persepsi antara Pertamina dengan kontraktor eksisting dalan mekanisme pembagian PI tersebut. Pertamina ingin memastikan tidak ada mekanisme business to business dalam pembagian PI tersebut.

“Ini kan masalahnya divestasi. Kami berbicara angka supaya tidak terjadi salah persepsi. Angka ini dipemikiran teman-teman eksisting kan free. Tidak ada sesuatu yang hitungannya business to business. Kami ingin memastikan. Kalau memang seperti itu, ya tidak ada masalah. Itu saja,” kata Gunung.

Gunung mengatakan jika tidak harus menjalankan  mekanisme business to business dalam pembagian PI, Pertamina siap melaksanakan. Pendampingan BPK dan Kejagung lebih kepada untuk memastikan tidak ada regulasi yang dilanggar dalam proses tersebut.

“Misalnya dalam hal ini BPK menyatakan harus seperti ini (eksisting free), kami ikuti. Artinya kami tidak melanggar aturan yang ada di dalam Pertamina.  Pertamina kan BUMN,” ungkap dia.

Ego Syahrial, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan pemerintah sudah menetapkan Pertamina mendapatkan penugasan mengelola blok terminasi. Mekanismenya kontraktor mitra Pertamina hanya diharuskan membayar bonus tanda tangan kepada negara.

“Yang ini kan ada mekanisme melalui signature bonus, bayar PI tidak perlu. Tapi kan Pertamina single majority,” kata Ego saat ditemui di Kementerian ESDM.

Ego menegaskan, meskipun tidak menerima pembayaran PI, Pertamina tetap mendapatkan keuntungan sebagai pemegang hak partisipasi mayoritas. Serta operator di seluruh blok terminasi.

Pemerintah tidak akan menghalangi jika BPK maupun Kejagung diikutsertakan mendampingi Pertamina, namun itu bisa dilakukan saat Pertamina ingin melakukan share down lebih ke mitranya.

“Kalau tidak salah setelah mereka tanda tangan PI, jika mau meningkatkan PI partner. Karena kan Pertamina ada pikiran mengajak partner untuk lebih meningkatkan PI-nya itu tentunya melalui proses yang tadi dia minta pendapat BPK itu,” tandas Ego.(RI)