JAKARTA – Pemerintah Indonesia sangat serius mendorong keberlanjutan habitat dan keanekaragaman hayati dengan mengembangkan koridor yang menghubungkan habitat yang terfragmentasi. Sejak 2018 telah dilakukan evaluasi terhadap semua konsesi dan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit. Terindentifikasi sekitar 1,34 juta hektar lahan di konsesi yang dapat dipertahankan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF).

Pemerintah juga konsisten untuk menerapkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan Analisis Dampak Lingkungan dalam rencana penggunaan lahan yang signifikan seperti pengembangan lumbung pangan. Selanjutnya, kawasan konservasi yang sudah diakui sebagai Situs Warisan Dunia, Ramsar, dan lainnya juga terus dijaga. Demikian pula, pengembangan dan peningkatan best practices dari hasil penelitian lapangan, hutan pendidikan serta hutan kemasyarakatan yang ada di Indonesia.

Berbagai kebijakan, langkah dan upaya pemerintah Indonesia tersebut telah membuahkan hasil dan mendapatkan pengakuan internasional.

“Terima kasih kepada Pemerintah Norwegia dan Green Climate Fund (GCF) atas pengakuan upaya Indonesia dalam mengurangi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi pada periode 2014–2017, dengan melakukan persetujuan
Pembayaran Berbasis Hasil sebesar US$103,8 juta dari GCF dan US$56 juta,$ dari Norwegia,” ungkap Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (16/9).

Sebagai perbandingan, sejak 2019 Indonesia telah mengalokasikan anggaran tahunan untuk rehabilitasi lahan dan konservasi sekitar US$300 juta atau sekitar 63% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahunan sektor kehutanan.

Siti mengatakan pemerintah Indonesia juga berkomitmen dan berupaya memerangi sampah laut dan mengelola terumbu karang secara berkelanjutan. Pada 2019, Indonesia berhasil meloloskan beberapa resolusi saat sidang UNEA-4 termasuk tentang pengelolaan terumbu karang berkelanjutan. Resolusi UNEA-4 tersebut telah diimplementasikan Pemerintah Indonesia dengan membangun basis data, regulasi, dan jaringan nasional untuk pengelolaan terumbu karang.

“Indonesia berbekal tiga kekuatan dalam membangun lingkungan hidup dan kehutanan yaitu kekuatan moral, intelektual dan pendanaan,” ujar Siti.

Kekuatan moral merupakan pengejawantahan dari mandat konstitusi, kekuatan intelektual diperoleh dari berbagai kerja sama teknis pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan dengan dunia internasional dan kekuatan pendanaan diperoleh dari prioritas nasional dalam alokasi sumber dana serta dari kerja sama pendanaan dengan negara lain.

Peningkatan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia, dilaksanakan dengan menginternalisasi kekuatan moral dan intelektual sebagai dasar pemecahan masalah.

Siti menambahkan, sejak 2011 pemerintah telah melakukan moratorium penerbitan izin baru dan sekarang telah menghentikan izin baru pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut. Pemerintah juga telah melakukan tindakan korektif untuk mengurangi laju deforestasi. Pemerintah Indonesia juga terus berupaya untuk meningkatkan pemulihan lansekap hutan, akselarasi program perhutanan sosial, serta meningkatkan efektivitas pengelolaan konservasi.

Peran serta dunia usaha dalam rehabilitasi lahan juga berhasil ditingkatkan. Lahan seluas 102 ribu hektar telah ditanami dengan partisipasi dunia usaha, para pemegang izin, sementara dari dana APBN dilakukan penanaman seluas 100 ribu sampai 200 ribu hektar per tahun. Kawasan hutan mangrove juga tak luput dari program rehabilitasi.

“Target rehabilitasi adalah seluas 637 ribu hektar kawasan mangrove yang kritis dari total 3,3 juta hektar luas hutan mangrove di Indonesia, yang telah dimulai pada 2020,” tandas Siti.(RA)