MASYARAKAT dunia saat ini tengah berada diambang krisis energi. Cita-cita untuk menuju penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) secara utuh kembali diuji. Kali ini ujiannya amatlah berat. Ketika kebiasaan penggunaan EBT terus meningkat, energi fosil justru makin terlihat sulit untuk bisa diganti, terutama ketika perang antara Rusia dan Ukraina mulai bergejolak. Ketergantungan negara-negara eropa terhadap gas dari Rusia menjadi boomerang yang tidak terelakkan. Perang membuat Rusia menghentikan pasokan gas ke Eropa, di sisi lain ternyata EBT yang dibanggakan oleh negara-negara di benua Biru belum mampu menopang seluruh kebutuhan energi di sana. Alhasil banyak negara kini mengalihkan perhatiannya kembali ke minyak maupun batu bara. Kebutuhan kedua komoditas itu mendadak melonjak drastis sampai timbul pertanyaaan. Apakah komitmen menuju transisi energi yang diidam-idamkan masih ada dan tetap akan dijalankan?

Kondisi yang terjadi sekarang ini membuat banyak negara mengubah target-targetnya dalam upaya melakukan transisi energi. Indonesia salah satunya. Tapi jangan salah, ditengah keterpurukan negara-negara akibat pandemi COVID-19, Indonesia memutuskan untuk tetap memantapkan niat melakukan transisi energi, padahal tidak sedikit negara yang putar arah kembali setia menggunakan minyak maupun batu bara demi mengamankan pasokan energinya.

Ditengah pertemuan tingkat  tinggi menteri energi negara-negara G20 atau Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM) pada Jumat (2/9), pemerintah Indonesia mengambil inisiatif dan mengumumkan untuk tetap berada di jalur transisi energi menuju energi bersih. Menggandeng International Energy Agency (IEA), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Roadmap atau peta jalan menuju Net Zero Emissions (NZE) sektor energi tahun 2060.

Boleh dibilang ini jadi langkah yang cukup berani, mengingat kondisi krisis energi sudah di depan mata serta ditengah keputusan negara-negara maju menggunakan energi fosil untuk ketahanan energi mereka. Belum lagi dengan biaya transisi energi yang dipastikan tidak akan sedikit.

Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA mengungkapkan Indonesia perlu memastikan reformasi kebijakan untuk membuka jalan bagi transisi ke energi terbarukan. Indonesia membutuhkan hampir tiga kali lipat investasi energi di 2030 dari yang saat ini. Dalam laporan terbaru IEA, The IEA’s Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia menyebutkan ada tambahan biaya investasi yang diperlukan sebesar US$8 miliar per tahun untuk bisa mengejar target transisi energi yang sudah dipatok.

Menurut Fatih, memobilisasi pembiayaan tambahan itu bergantung pula pada dukungan keuangan internasional melalui program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP). “Saya meminta mitra internasional Indonesia untuk memobilisasi pembiayaan energi bersih melalui JETP dan memastikan adanya transfer teknologi. Hasilnya akan membawa manfaat besar bagi Indonesia dan dunia,” kata Fatih saat ikut dalam pertemuan para menteri sektor energi negara G20 di Bali pekan lalu.

Dengan sumber daya alam beragam yang potensinya besar, Indonesia diyakini bakal jadi salah satu sorotan dunia dalam sepak terjangnya mencapai NZE.

“Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa untuk negara yang sangat bergantung pada ekspor bahan bakar fosil, jalan menuju emisi nol bersih tidak hanya feasible tetapi juga memberikan bermanfaat,” jelas Fatih.

Salah satu potensi sumber energi terbarukan yang menjadi perhatian IEA adalah tenaga surya. “Surya menjadi peluang terbesar di Indonesia. Kami harap lebih banyak diimplementasikan, memiliki (harga) kompetitif, dan project yang menjanjikan,” ungkap Fatih.

Energi surya memang disiapkan untuk berperan penting dalam penyediaan listrik nasional. Berdasarkan data Kementerian ESDM, dari 587 Gigawatt (GW) kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2060 nanti, sebesar 361 GW atau lebih dari 60% akan berasal dari energi surya.

Pangsa pasar energi baru terbarukan (EBT) global diproyeksikan meningkat pesat hingga mencapai 50% pada 2035 dan mencapai 75% pada 2050. Laporan Global Energy Perspective dari McKinsey (2019) memprediksi pembangkit listrik tenaga batu bara serta minyak bumi akan turun drastis digantikan dengan pembangkit listrik tenaga energi terbarukan, dengan biaya yang lebih relatif rendah.

The International Renewable Energy Agency (IRENA) juga memperkirakan pangsa energi global melalui Transforming Energy Scenario (TES) dimana pada tahun 2030 konsumsi batu bara turun 41% dan berlanjut hingga 2050 berkurang hingga 87%. Sama halnya dengan konsumsi minyak bumi yang akan turun hingga 31% pada 2030 dan akan terus turun hingga 70% pada 2050. Hal ini memberikan peluang besar bagi pengembangan EBT ke depan.

Berdasarkan hasil pemodelan Indonesia dan IEA, berhasil diidentifikasi beberapa aksi mitigasi untuk mencapai NZE, diantaranya pengembangan energi terbarukan secara masif dengan fokus pada solar, hidro dan panas bumi, penghentian bertahap (phase down) Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTU), penggunaan teknologi rendah emisi seperti pengembangan super grid untuk meningkatkan konektivitas dan Carbon, Capture, Utilization, and Storage (CCS/CCUS), konversi kendaraan listrik dan penerapan peralatan efisiensi energi untuk sektor industri, transportasi dan bangunan serta penggunaan energi baru seperti nuklir, hidrogen, dan amonia.

Tidak sedikit negara anggota G20 menyambut baik inisiatif Indonesia yang giat mencari jalan terbaik dalam melakukan transisi energi. Mereka mengakui Indonesia jadi salah satu negara paling aktif di dunia memperjuangkan penggunaan energi bersih, meskipun pandemi membuat berbagai rencana transisi energi negara-negara di dunia carut marut.

Kadri Simson, Komisioner Energi Uni Eropa, menuturkan rencana yang disusun pemerintah Indonesia sangat krusial, tidak hanya bagi Indonesia sendiri tapi juga seluruh dunia. Dia menilai roadmap yang telah disusun bersama IEA masih sangat rasional untuk bisa dicapai.

Roadmap Indonesia mengedepankan efisiensi, ini tidak jauh berbeda dengan yang ada di Eropa. Transisi yang diusung juga mengedepankan kebersamaan alias tidak ada yang ditinggal. Kami memiliki kewajiban untuk mendukung target tersebut untuk menjadi kenyataan,” jelas Kadri.

Sementara itu, David Turk, Deputi Sekretaris Energi Amerika Serikat, menyatakan keterlibatan IEA dalam penyusunan roadmap NZE, membuat rencana Indonesia bisa diterima oleh negara-negara lain di dunia. “Kami sangat mengapresiasi milestone yang baik dari Indonesia ini,” kata dia.

Kei Takagi, Wakil Menteri Luar Negeri Jepang, mengapresiasi rencana transisi energi Indonesia yang fokus agar tidak ada negara yang tertinggal. Dia menilai Indonesia jadi salah satu negara yang paling konkret mengejar penggunaan energi bersih. “Langkah indonesia ini sangat konkret. Menurut kami ini sangat penting untuk bisa memastikan timeline. Misalnya, menggantikan fosil fuel,” ujar Takagi.

John F.G. Hannaford, Wakil Menteri Sumber Daya Alam Kanada, menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang besar dengan populasi yang besar juga. Roadmap yang baru diluncurkan diharapkan bisa menjawab tantangan transisi energi ke depan. “Banyak potensi di Indonesia, kami berharap memang ada transisi misalnya di batu bara,” ujar John.

Sementara itu, Timothy Goodson, Lead Energy Analyst and Modeller IEA, menuturkan revisi NZE roadmap merupakan langkah baru dan maju bagi Indonesia dalam upayanya menuju NZE. Meskipun begitu hal itu tidak akan mudah untuk diwujudkan.

Timothy mengaku optimistis dengan roadmap terbaru yang juga mempertimbangkan keberadaan sumber daya alam Indonesia yang melimpah baik itu mineral maupun EBT.

“Ini sangat membutuhkan kebijakan yang mendukung, tapi kami optimistis karena Indonesia dikaruniai berbagai macam sumber EBT, bioenergi dan mineral,” ungkap dia.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, menjelaskan dalam NZE roadmap anyar ini diharapkan bisa meningkatkan daya saing Indonesia saat melakukan transisi energi, maksudnya jangan sampai transisi energi yang dilakukan berdampak negatif terhadap berbagai indikator ekonomia nasional.

“Kita mau memastikan roadmap ini berjalan baik dan tetap menjaga daya saing Indonesia dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Dadan.

Beberapa hal yang direvisi kata Dadan terkait dengan asumsi dasar yang digunakan dalam menyusun target. Misalnya ini kebutuhan daya listrik yang sebelumnya diperkirakan mencapai lebih dari 600 Gigawatt kini di road map terbaru tidak sampai sebesar itu.

“Dulu kita sampaikan 608 Gigawatt (GW), IEA sampaikan 510 (GW) di 2060. Lalu emisi gas rumah kaca ada perbaikan. Komposisi pembangkit listrik EBT 2060 ada yang berbeda dengan apa yang kita susun satu tahun terakhir,” ungkap Dadan.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, saat peluncuran roadmap tersebut menyatakan dukungan dan kerjasama dunia nternasional sangat dibutuhkan untuk mencapai NZE. Dia mengungpakan setiap orang memiliki akses untuk berpartisipasi dalam pengembangan energi hijau. “Dalam rangka percepatan transisi energi, kita butuh penguatan kolaborasi, di antara negara-negara untuk memastikan rencana kita dapat dicapai. Tentunya, transisi energi butuh dukungan pendanaan yang besar kerja keras,” ungkap dia.

Guna mencapai target tersebut, pemerintah akan mengundang para investor. Arifin optimistis hasil kolaborasi pemodelan bersama IEA diharapkan menjadi acuan bersama (benchmark) dunia internasional. “Saya berharap peta jalan ini akan memberikan perspektif internasional atas perencanaan energi jangka panjang kita untuk energi masa depan yang lebih baik, bersih, reasonable, dan terjangkau dalam mencapai target emisi nol bersih,” jelas Arifin.

Pemerintah Indonesia memiliki peta jalan transisi energi untuk Indonesia yang tertuang dalam Grand Strategi Energi Nasional. Dalam peta jalan itu, energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan mencapai 23% pada 2025 dan mencapai 31% di 2050 dalam bauran energi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute Essential for Service Reform (IESR), mengungkapkan roadmap adalah insight bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan aturan yang dapat mendukung kita mencapai target bauran energi yg dicita-citakan. “Menurut saya yang penting setelah ini adalah menyelaraskan berbagai instrumen kebijakan dan rencana di bidang energi sesuai roadmap,” ungkap Fabby.

Dia menilai transisi energi adalah proses jangka panjang dan mempertimbangkan kondisi obyektif di setiap negara, perkembangan teknologi serta dampak pada keamanan energi. Krisis energi hari ini sifatnya temporer dan situasional, pemicunya adalah konflik Rusia dan Ukraina. Krisis energi fossil bukan hal baru.

“Dunia mengalaminya di era 70an, 2008 dan sekarang. Tapi kita belajar di setiap krisis, mendorong inovasi dan percepatan penerapan teknologi baru yang lebih bersih dan efisien,” jelas Fabby.

Menurutnya, Indonesia sudah tepat mengumumkan peta jalan transisi energi. “Ini menunjukkan kita serius melakukan transformasi sistem energi kita,” ujar Fabby.

Fabby menyatakan dengan ada langkah dan rencana yang konkret maka dengan sendirinya berbagai dukungan internasional akan datang. “Ini akan mengundang dukungan dari banyak negara maju sekaligus kesempatan memodernisasi sistem penyediaan energi yang akan berdampak pada penyediaan energi yang lebih bersih, berkelanjutan, rendah emisi dan lebih terjangkau,” jelas Fabby.

 

Bali COMPACT Jadi Acuan Dunia Melakukan Transisi Energi

Selain menerbitkan inisiatif roadmap menuju NZE, Indonesia juga menjadi aktor utama disepakatinya Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (COMPACT). Dokumen ini merupakan prinsip-prinsip dasar dalam mempercepat transisi energi yang akan menjadi pondasi dan acuan bagi negara anggota G20 dalam percepatan transisi energi yang dilakukan.

“Kami sangat senang karena inisiatif kami, yakni Bali COMPACT disetujui oleh semua negara anggota G20. Itu berarti Bali sekali lagi akan diakui sebagai pulau yang memproduksi hal yang bermanfaat bagi masyarakat dunia,” ujar Arifin.

Menutur Arifin yang juga bertindak sebagai Chair of ETMM, Bali COMPACT berisikan inisiatif sebagai prinsip dasar para negara G20 untuk menjalankan transisi energi.

“Prinsip-prinsip G20 untuk mempercepat transisi energi yang bersih, berkelanjutan, adil, terjangkau, dan transisi energi yang inklusif,” kata Arifin.

Prinsip dasar percepatan transisi yang dihasilkan di Bali ini akan menjadi pondasi yang kokoh dan acuan bagi negara G20 dalam percepatan transisi energi yang dilakukan.

Inisiatif ini kata Arifin akan disampaikan dan disahkan dalam Pemimpin G20 pada KTT Bali yang diadakan pada 15-16 November 2022. Rencananya presiden Joko Widodo yang akan langsung menyampaikan Bali COMPACT kepada masyarakat dunia nanti. (RI)